Suatu saat kuterpaku di kaki langit, menikmati hangatnya sapuan sang surya yang dari tadi kutunggu kemunculannya dari balik bukit itu. Kupejamkan mata beberapa jenak untuk lebih menikmati kehangatannya. Sejuk udara pagi mengeksplorasi seluruh ruang di paru-paruku, membawa kesegaran sebuah semangat untuk memulai hari (yang seharusnya senantiasa) baru.
Mendadak slide-slide itu bermain di ruang imajiku. Menari melintasi batas mengajakku berpetualang ke waktu yang lalu saat kulalui berbagai pengalaman hebat bersama kalian. Pernahkah kau merasakan letupan kebahagiaan yang tiba-tiba saja menyeruak dalam dadamu? Begitulah yang kurasakan, kawan. Buncahan itu tanpa permisi telah lancang mendominasi ruang emosiku pagi ini.
Mindaku terlempar jauh ke sebuah ruangan kelas kusam di sekolah kampung kita. Dengan seragam putih merah itu, kau berdiri kikuk di hadapan kami, dua puluh satu orang teman barumu. Kau tak bisa tegak dalam berdirimu, seolah-olah pandangan kami begitu mengintimidasi. Saat akhirnya kau berhasil mengucapkan namamu dan nama orang tuamu, bergegas kau berlari dan duduk dengan keceriaan itu di bangkumu, di antara kedua orang tuamu.
Pun ketika kita sudah memakai seragam putih biru gelap itu. Kau masih tetap dengan keceriaanmu. Suatu hari kau pernah mengumpulkan beberapa bangku di tengah kelas dan kau menyulapnya menjadi panggung konser kelas kita, sampai seantero sekolah mengenal kelas kita sebagai kelas paling heboh yang susah diatur. Ingatkah kau ketika siang itu kita mendaki bukit di belakang rumahmu? Kita baru menyadari bahwa kita tidak membawa setetespun air minum saat kita sudah hampir sampai di puncak bukit. Dengan pasrah, kita biarkan angin itu berhembus menghilangkan dahaga kita. Atau ketika di kali yang lain kita terjebak hujan badai, juga ketika kita mendaki bukit itu. Ah, senang sekali kita waktu itu.
Dan, kita memakai juga seragam putih abu-abu itu. Kau telah menjadi semakin dewasa. Begitupun aku. Kita telah dituntut untuk lebih bertanggungjawab. Meski ternyata tetap saja, kegilaan kita sering banyak muncul di waktu yang benar-benar tak terduga. Tentu kau masih ingat, ketika menjelang ujian itu kita pergi ke rumah satu kawan kita untuk menonton film yang keluar dua bulan lalu. Dan kita dimarahi ketika ternyata ada satu guru yang melihat rombongan kita. Atau ketika beberapa minggu kita disibukkan dengan latihan baris berbaris itu. Ketegangan dalam tawa renyah tak pernah terlepas dari setiap latihan. Sampai di hari kemerdekaan itu, kita melangkah tegap gagah di lapangan sekolah disaksikan beribu pasang mata. Bangga sekali, bukan?
Begitulah, kawan. Pernah terjadi pengalaman hebat itu. Jika suatu hari kau pernah mengalahkanku dalam permainan kelereng itu, aku membalasnya dengan mengalahkanmu ketika lomba berenang di sungai itu. Kita telah belajar berkompetisi sehat sejak saat itu. Jika dulu kita sama-sama belajar mengeja dari pak ustadz di surau samping kali itu, kini kita telah bisa berbicara. Pernah satu hari kau mengambil buku pee r ku tanpa izinku karena pagi itu juga akan diperiksa, hanya sedikit kesalku, karena saat itu kita berbicara tentang solidaritas yang sebenarnya belum terlalu kita ketahui maknanya. Pun, ketika pernah ku menemukanmu menangis di pojok kelas itu, aku hanya bisa menawarkan bahuku untuk menjadi sandaranmu. Bagi mereka ini begitu picisan, tapi tidak bagi kita. Pengalaman hebat itu begitu indah, kawan. Aku merindukannya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar