Kamis, 27 Januari 2011

hadiah sebuah mimpi

“Kalau begitu, saya pamit dulu, Abi, Umi,” ucap lelaki muda itu penuh hormat pada dua orang di hadapannya.

“Hati-hati di jalan, Nak. Semoga ridho Allah selalu menyertai setiap langkahmu,” ucap Umi yang diamini dengan anggukan oleh pemuda itu. “Tolong bantu kami dengan shalat malam dan doa di penghujung sujudmu, Nak,” ujar Abi. Anak muda itu mengangguk takzim. Setelah mencium tangan Abi dan beruluk salam, pemuda itu beranjak meninggalkan ruangan. Abi dan Umi mengiringi kepergiannya dengan senyum dan untaian doa untuk kebarakahannya. Sampai pemuda itu menghilang di balik pagar, barulah Abi dan Umi menutup pintu ruang tamu.

Dan, jingga mulai menggores di ufuk barat. Beberapa menit kemudian adzan berkumandang. Gaungnya membahana memanggil ummat untuk menunaikan kewajibannya. Shalat, rehat yang menentramkan setelah seharian sibuk dengan urusan di luar rumah. Masjid pondok pesantren putri Daarul Jannah mulai diramaikan oleh para santri yang hendak shalat berjamaah.

---

Unit gawat darurat, pukul setengah sembilan malam.

“Kamu dirawat aja ya, Syah,” ujar Salsa sembari menatap mata Aisyah yang setengah terpejam. Kemudian kedua mata itu kembali terbuka sempurna demi mendengar kalimat itu.

“Aku mau pulang aja, Sa,” jawabnya lemah.

“Nggak bisa, sayang. Badan kamu terlalu lemas untuk dirawat di kos, di sana ga ada yang ngerawat kamu. Di sini kan ada dokter sama suster kalo nanti kamu butuh apa-apa.”

“Sa…” Aisyah menatap mata Salsa. Ada yang ingin diucapkannya, namun kalimat itu tak kuasa terucap dari bibirnya.

“Udah kamu ga usah mikirin apa-apa. Yang penting kamu sehat lagi, ya. Sekarang istirahat aja.” Salsa membenahi selimut Aisyah. Obat tidur yang tadi diberikan dokter tampaknya sudah mulai bekerja. Aisyah langsung memejamkan kedua matanya.

Aisyah kemudian dipindahkan ke ruangan rawat inap di lantai dua. Sudah ada satu kasur yang terisi dari enam kasur yang ada di ruangan itu. Seorang nenek yang ditunggui dua orang perempuan, mungkin anak dan cucunya. Aisyah ditempatkan di kasur dekat jendela. Dia sudah benar-benar terlelap. Salsa menitipkan Aisyah pada ibu yang menjaga nenek itu. Malam ini dia harus menyelesaikan tugas kuliahnya, jadi tidak bisa menemani Aisyah. Lagi pula, Abi sama Umi pasti mengkhawatirkannya. Arlojinya menunjukkan pukul setengah sepuluh saat Estilo biru itu meninggalkan parkiran rumah sakit.

Seperti yang sudah ia duga, lampu ruang tamu masih menyala. Pintunya terbuka lebar. Terlihat Umi yang sedang membaca Al-Qur’an di atas sofa dan Abi yang berdiri tegak di depan pintu. Begitu mendengar deru mobil Salsa dari balik pagar, Abi langsung bergegas membuka pagar itu sampai sempurna. Tanpa banyak bicara, Abi meminta Salsa langsung masuk dan Abi yang memasukkan mobil itu ke garasi. Sampai di ruang tamu, Wajah khawatir Umi langsung menyambut Salsa.

“Maaf Abi, Umi, Salsa baru pulang jam segini,” ucapnya penuh penyesalan.

“Ponsel kamu nggak bisa dihubungi, nduk. Umi sama Abi khawatir ada apa-apa sama kamu,” jawab Umi lembut, tapi kekhawatiran masih membuat suaranya sedikit bergetar.

“Pasti ada alasan yang mau kamu jelaskan sama Abi dan Umi, kan?” tanya Abi begitu menutup pintu dan menguncinya.

“Iya Abi, Umi,” Salsa duduk di samping Umi, sementara Abi duduk di hadapan mereka berdua.

“Selepas mengantar titipan Umi buat ibu Fajar, Salsa mampir ke tempat Aisyah,” ujarnya. “Kamarnya terlihat gelap, padahal sudah hampir isya. Salsa lihat kunci kamarnya masih menggantung di luar dan sandalnya juga ada di depan pintu. Salsa nekat saja masuk karena diketuk berkali-kali tidak ada jawaban. Setelah Salsa menyalakan lampu, barulah kelihatan Aisyah tergolek di lantai di samping kasurnya. Susah payah Salsa membawanya ke mobil dan langsung ke rumah sakit. Dokter menyarankan agar Aisyah dirawat saja, karena kondisinya benar-benar lemah. Afwan tidak sempat menghubungi Abi sama Umi,” Salsa menutup kalimatnya.

Abi dan Umi menghela nafas panjang mendengar penuturan Salsa. Mereka lega tidak terjadi apa-apa pada gadis itu.

“Ya sudah, kamu sekarang masuk, istirahat sana. Besok pagi, ada yang mau kami bicarakan dengan kamu.” Ucap Abi penuh wibawa.

Salsa mengangguk. Setelah mencium tangan Umi, dia masuk ke kamarnya lewat pintu samping. Masjid dan ruang belajar pondok pesantren itu telah sepi dari santri putri yang jumlahnya delapan puluh empat itu. Di kamarnya, Salsa tidak lantas beristirahat. Dinyalakannya laptop dan diambilnya buku-buku tebal dari rak di samping kasurnya. Setelah menunaikan shalat isya’ dan tilawah dua halaman, Salsa mulai tenggelam dalam mengerjakan tugasnya.

---

Pukul delapan pagi, Daarul jannah sudah sepi ditinggalkan para santri yang berangkat ke sekolahnya masing-masing sejak setengah tujuh tadi. Beberapa pengurus pondok terlihat sedang membersihkan masjid dan ruangan belajar. Ada beberapa yang menyapu, yang lainnya mengepel dan membersihkan kaca. Alunan Murattal surat Ar-Rahman menggema ke seluruh pelosok pondok dari sound system yang ada di masjid.

Salsa sedang memanaskan mobilnya di depan gerbang pondok. Hari ini dia akan menjenguk Aisyah yang sudah dirawat dari dua malam lalu. Kemarin saat Salsa menjenguknya, Aisyah sedang tidur. Salsa hanya menyimpan baju ganti untuk Aisyah dan beberapa kantong buah segar. Tak lupa buku dan mushaf yang pasti akan dicari Aisyah untuk mengisi waktu istirahatnya itu. Semoga keadaanmu sudah jauh lebih baik, Syah. Ada yang ingin kubagi denganmu.

Pembicaraan dengan Abi dan Umi pagi kemarin benar-benar mengejutkannya, bagai hujan yang membadai tanpa ditandai mendung sebelumnya. Berbagai aktivitas dilakukannya tanpa konsentrasi penuh sejak pagi kemarin. Dan Salsa ingin segera menceritakan ini pada sahabatnya.

Inspiring Story for Ukhti. Aisyah sedang membaca buku itu saat Salsa masuk ke ruangannya. Sebuah senyum langsung terlukis saat Salsa beruluk salam. Wajah gadis itu sudah jauh lebih segar dibanding kemarin. Salsa cukup yakin untuk membagi buncah-buncah di hatinya pada Aisyah.

“Aku tadinya mau membawakanmu Bulughul Maram, tapi aku takut itu akan terlalu membuatmu kelelahan membacanya. Makanya kubawa saja Syarah Riyadhus Salihin dan buku itu. Banyak membantu?” tanya Salsa.

“Sangat membantu, Ukhty. Dan, terima kasih kau tidak lupa membawakan mushafku.”

“Mana mungkin aku membiarkanmu melewati hari tanpa mushaf itu?” Salsa duduk di samping kasur Aisyah. “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”

“Jauh lebih baik, Sa. Aku harap aku bisa pulang hari ini juga,” Aisyah masih khawatir. Pelayanan di sini sungguh sangat baik. Yang paling Aisyah sukai adalah pasien perempuan dirawat oleh perawat perempuan, dan pasien laki-laki oleh perawat laki-laki. Semua petugas di rumah sakit itu juga ramah tiada tara. Tentu saja pelayanan sebagus itu tidak murah harganya. Aisyah yang sehari-hari hidup dari uang beasiswa yang pas-pasan, mungkin harus menghabiskan uang beasiswanya selama tiga bulan untuk rawat inap selama tiga hari itu.

Salsa memahami apa yang sedang dipikirkan Aisyah. “Aku sudah bilang, kamu ga usah mikirin apa-apa,” tatapan Salsa begitu lembut menyapa pandangan Aisyah. Aisyah mencoba menyelami kedua bening itu, dan dia menemukan ketulusan di sana. Ketulusan seorang saudara yang rela melakukan apapun untuk saudaranya. Perlahan wajah cemas Aisyah berubah menjadi lebih ceria.

“Nah, gitu dong senyum. Ada yang mau kubagi denganmu,” Salsa membenahi duduknya. “Kemarin pagi, Abi dan Umi mengajakku berbicara,” Salsa mengeluarkan sebuah map biru dari tasnya. “Ada yang mengajukan lamaran untukku, Syah. Seorang calon sarjana pertanian.”

Aisyah menerima map yang diajukan Salsa. Dia membukanya dan berseru saking kagetnya. “Dia kan temanku satu SMA, Sa.” Ujar Aisyah.

“Benarkah?” Salsa tak kalah terkejutnya. “Apakah dia seorang calon suami yang baik untukku?”

“Setahuku dia memiliki pribadi seorang muslim,” Aisyah langsung menutup map itu tanpa membacanya lebih jauh. “Tiga tahun berturut-turut sekelas dengannya, membuatku tak meragukan lagi dia adalah calon suami yang sangat baik bagi setiap wanita shalehah. Memang benar apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Setiap orang akan mendapatkan jodoh yang sepadan dengan dirinya.” “Lalu bagaimana jawabanmu?”

“Jika abi dan Umi sudah menyetujui, aku tak berani meragukan kualitas jasadi maupun ruhiyahnya,” jawab Salsa bersemangat. “Tapi satu hal yang paling membuatku tertarik padanya, dia memiliki cita-cita yang sama denganku.” “Eh, dengan kita,” ralatnya cepat.

“Pergi ke Papua?”

Salsa mengangguk mantap. “Dia juga ingin mendirikan pusat pembelajaran Islam bagi muslim disana. Bahkan, sekarang dia sedang melakukan penelitian untuk skripsinya langsung disana, agar nanti aplikasi ilmu pertaniannya lebih langsung terarah sesuai kondisi alam di sana.”

Ada sesak yang tiba-tiba menyeruak di dada Aisyah demi mendengar hal itu.

“Kamu sungguh beruntung, Sa. Semoga nanti pernikahan kalian barakah, Kalian sudah sama-sama siap untuk membangun madrasah peradaban islam di tanah asing sana.” ucap Aisyah sedikit bergetar pada akhirnya.

Justru aku harus lebih bersiap jika ternyata jawaban dari istikharahku nanti menghadapkanku bahwa dia ternyata bukan jodohku, Syah. Kita belum tahu apakah Dia memang menggariskan jodohku dengan laki-laki itu.

Mereka berpelukan. Tetes-tetes bening bergulir jua dari bening kedua gadis itu. Ruangan sepi itu menjadi saksi dua orang yang benar-benar saling mencintai karena Allah. Salsa sudah menganggap Aisyah merupakan bagian dari dirinya, sehingga saat gadis itu terbaring lemah, hatinya lah yang merasakan sakit tak terperi. Dan Aisyah mengharu bahagia melihat Salsa bertemu dengan laki-laki yang akan membimbing dan membersamainya mewujudkan mimpi untuk mengabdikan ilmunya bagi muslim Papua yang tidak bisa menimba ilmu agama sebebas dan sebanyak mereka yang tinggal di Pulau Jawa ini.

---

Rabbi, selalu bergejolak harap di hati ini untuk memiliki pendamping hidup yang mampu membawa hamba lebih dekat kepadaMu. Harap itu sekali terlabuh pada laki-laki yang memikat perasaan hamba dengan kesantunan sikapnya, pemuliaannya terhadap perempuan, dan penghambaannya padaMu yang dipersembahkan sepenuh jiwa raganya. Harap itu pernah bersemi, Rabb. Pernah.

Jika memang dialah yang Engkau pilih untuk mendampingi sisa umur hamba, dekatkanlah kami dan berkahilah kebersamaan itu. Jika bukan dia jodoh yang Engkau berikan untuk hamba, lapangkanlah hati hamba saat nanti melihatnya membangun keluarga sakinah, mawadah, wa rahmah dengan wanita yang lebih baik dari hambamu yang hina ini.

Amin.

---

“Nduk, pesawat yang membawa Ifan tergelincir saat mendarat di bandara. Sekarang keadaannya sedang kritis di rumah sakit. Kamu mau ikut kami ke sana sekarang, nduk?” Ucap Umi sambil menahan isaknya. Salsa hanya bisa terdiam di kursinya. Inikah jawaban dariMu, Rabbi? Bahwa sepanjang istikharahku tak ada sedikitpun perasaanku kau izinkan untuk singgah padanya.

“Umi sama Abi duluan saja ke sana. Insyaallah Salsa akan menjenguk beliau kalau nanti keadaan beliau sudah lebih membaik.” Ya, Salsa sadar belum ada keterikatan apa-apa antara dirinya dengan Arifan Abu Bakar, sang calon sarjana pertanian itu. Maka sekarang, cukup dia mendoakan saja dari sini untuk kebaikan laki-laki itu.

Salsa baru menjenguk Ifan satu minggu kemudian, setelah Abi mengabarkan bahwa keadaannya sudah mulai membaik. Ditemani Abi dan Umi, Salsa menyampaikan jawaban atas lamaran Ifan dulu dengan tegas tapi dapat diterima dengan baik oleh laki-laki itu. Dan, Ifan kemudian menceritakan pengalamannya dulu semasa SMA pada keluarga pengurus pondok daarul Jannah itu. Tentang seorang perempuan shalehah yang menjaga hijabnya dengan sesungguh janji.

---

“Syah, masihkah dirimu bercita-cita untuk menikah di usia 23 tahun?” tanya Salsa saat mereka memasuki Estilo biru sepulang kuliah sore ini.

“Cita-citaku masih sama, Sa. Hanya saja, aku lebih ridho dengan takdirNya jika memang cita-citaku itu tidak sesuai dengan rencanaNya.”

Salsa menatap Aisyah serius. “Sekarang usiamu berapa?”

“23 tahun 11 bulan 28 hari,” jawab Aisyah pelan. “Kenapa?”

“Ada seorang temanku yang sedang mencari istri. Syaratnya hanya dua, dia haruslah wanita yang menjaga izzahnya sebagai seorang muslimah, dan memiliki setidaknya dua kelompok binaan yang kompak padu,” jelas Salsa perlahan. “Maukah kau menjadi ibu bagi anak-anaknya?”

Aisyah tersentak. Dadanya sesak oleh buncah yang tak tergambarkan. Buncah yang hanya mampu ia rasakan, tak bisa ia utarakan.

“Aku harus berbicara dengan ibu dulu, Sa,” jawab Aisyah setelah keterkejutannya menghilang.

“Umi sudah menghubungi ibumu, beliau sekarang sedang ada di pondokku,” jawab Salsa kembali membuat Aisyah terhenyak.

“Jikalau kamu percaya pada Abi, Umi, ibumu, dan juga padaku, sekarang ikutlah denganku ke Daarul Jannah. Lepas maghrib nanti kali-laki itu akan mengucapkan akad untuk menikahimu disaksikan jamaah dan warga di sekitar pondokku.”

“Sudah sejauh itu kalian melakukannya untukku?” Aisyah terbata. Salsa mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya dia memacu mobil menuju Daarul Jannah setelah Aisyah hanya mampu mengangguk tanpa kata atas semua kejutan itu. Bahkan untuk bertanya siapa lelaki itu pun, dia tidak sanggup.

Tepat adzan maghrib berkumandang saat Estilo biru itu memasuki gerbang pondok. Aisyah langsung disambut beberapa santri putri yang membawanya ke rumah utama untuk persiapan akad. Lepas shalat maghrib, Salsa membawa Aisyah ke lantai atas masjid pondok. Di shaf terdepan sudah ada Umi dan Ibunda Aisyah. Gadis itu langsung mendekap ibunya. Mata mereka gerimis, namun itulah gerimis paling membahagiakan yang pernah Aisyah ingat.

Di bawah sana, Abi yang berperan sebagai wali Aisyah sekaligus penghulu akad, menjabat tangan laki-laki muda yang tidak asing bagi semua orang di sana, Arifan Abu Bakar. Aisyah tersentak untuk kesekian kalinya. Jadi, jawaban Salsa satu bulan yang lalu atas lamaran itu adalah menolaknya?

“Sa,” Aisyah tak mampu meneruskan kalimatnya. Teringat doanya sendiri. Jika memang dialah yang Engkau pilih untuk mendampingi sisa umur hamba, dekatkanlah kami dan berkahilah kebersamaan itu.

Salsa menjawab dengan senyuman. “Semoga barakah, Syah. Insyaallah kita akan tetap sama-sama ke Papua untuk mewujudkan mimpi kita.”

“Terlalu banyak yang kau berikan untukku.”

“Sebanyak itu pula yang kuterima dari kalian semua. Aku benar-benar seorang diri jika Abi dan Umi tidak mengangkatku menjadi anak mereka. Sebanyak apapun harta yang ditinggalkan orang tuaku, tidak akan berguna jika aku menjadi orang yang kesepian. Kamu dan Ifan adalah saudara terbaik yang pernah kupunya. Apalagi yang kubutuhkan jika kalian sudah memberikan kebahagiaan terbaik itu untukku? Lagipula seorang muslim Papua yang menjadi pemandu Ifan selama melakukan penelitian disana, sedang dalam perjalanannya kemari untuk mengikatku dengan akad serupa yang diucapkan Ifan atasmu.”

Bening di mata-mata meraka pecah tak terbendung. Mereka berpeluk mesra. Dan, jamaah shalat maghrib telah mengamini akad yang terucap petang itu. Doa-doa mereka menggema ke angkasa raya, terjalin ke lazuardi yang gemerlap di pekat malam itu.

Mimpi yang terikhtiar dalam sadar, adalah kemenangan yang tinggal menunggu waktu pembuktian.

(kupersembahkan untuk dua orang saudaraku yang malam itu mengantarkanku pulang. thanks a lot for you two, ukh. maaf banyak "mencuri" beberapa bagian pengalaman dan karakter kalian. hehehe )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar