Kamis, 27 Januari 2011

perang haq dan bathil

suatu sore aku duduk bersama seorang teman di satu kelas. sebuah perbincangan terlahir dari sebuah cerita. sampai akhirnya kami sampai pada pembahasan tentang cara ku menghadapi masalah. kalimat yang diucapkannya membuatku bergetar.
"ini adalah perang antara haq dan bathil. betapa banyak orang yang telah tertutup hatinya dari jalan kebenaran.bukan zamannya lagi kita mendengarkan kata-kata orang. mereka tidak punya andil apa-apa dalam menentukan kehidupan kita. yang menjalani hidup kita adalah kita. dan yang mempertanggungkawabkan perbuatan kita adalah kita."
Ini adalah perang dengan ego ku sendiri. Sungguh, ini adalah perjuangan yang tidak mudah, tapi aku pasti bisa melewatinya.

untitled feeling

awalnya tak ada sesuatupun yang istimewa. hanya kebersamaan yang berlandaskan persaudaraan.
awalnya tak ada sesuatupun yang istimewa. hanya pertemuan biasa yang tak membawa banyak perubahan.
awalnya tak ada sesuatupun yang istimewa. tak ada sesuatu yang istimewa.

tapi semenjak satu saat dimana keberadaannya mulai menjadi tak biasa, keistimewaan itu muncul. ini bukan lagi sekadar kebersamaan, ini bukan lagi sekedar pertemuan. ada ikatan lain yang membuat kebersamaan ini terlampau indah. ada semangat lain yang membuat pertemuan ini sangat berharga.

kondisi ini yang selalu membuatku harus bertarung keras dengan egoku.
apa yang telah kau berikan terlalu indah untuk dilupakan.
apa yang telah kau lakukan telah membuat semuanya berubah.

dan ini membuatku bingung, bagaimana aku harus menyikapimu???

terima kasih, bunda

adalah saat-saat yang sulit ketika aku menemukanmu di sana. saat-saat dimana aku serius berkutat dengan egoku dan tidak ada siapapun yang bersedia duduk di sampingku.
kau datang dengan senyummu. sejenak menggenggamkan semangat untukku. bagaimana aku bisa menggambarkan apa yang telah kau berikan untukku? sungguh, semua itu adalah sesuatu yang tidak dapat kubalas seumur hidupku.
kau tersenyum saat melihatku murung. duduk disampingku saat tak ada seorangpun menemaniku. kau genggam tanganku saat aku kehilangan semangatku. kau memberiku obat terbaik bagi seorang wanita dalam kondisi terlukanya, sebuah pelukan hangat.
aku tahu betapa sangat kau mengkhawatirkan keadaanku. aku tahu betapa kau ingin selalu membantuku menghadapi situasiku. aku tahu betapa kau ingin aku menjadi sosok yang tegar dan kokoh. dan betapa aku tak sanggup mengatakan bahwa aku mengetahui semua itu.
Apa yang mampu kulakukan untuk membalas semua itu?
aku hanya sanggup untuk selalu menyebutmu dalam setiap doaku.
aku hanya sanggup untuk berusaha mengingat semua nasehatmu.
aku hanya sanggup untuk berusaha mematuhi semua saranmu.
apakah engkau tahu, alangkah indahnya ketika aku melihat senyummu. senyum yang menenangkan dan memberiku semangat baru.
terima kasih, bunda
terima kasih, bunda
I love you because Allah, ever and ever
semoga aku bisa tetap tegak di jalan ini bersamamu

perbincangan kecil

tiap orang punya kecenderungan untuk MEMILIH orang yang bisa membuatnya nyaman. terlepas dari bisa atau tidaknya dia menerima apa yang ia dapatkan. waktulah yang kan menguji kesabarannya..

NI BERLAKU BAGI SESEORANG ATAU DUA ORANG YANG MEMILIKI KECENDERUNGAN YANG SAMA???

maybe tu cuma berlaku bagi orang yang sedang dalam pencarian dan dia butuh orang yang mau menegurnya ketika ia khilaf..

SEBUAH PROSES PUN ADA TARGETANNYA. MAU DIINGATKAN SAMPAI KAPAN??? BUKANKAH KESADARAN YANG DIMULAI DARI DIRI SENDIRI ITU LEBIH KUAT KARENA JIKA BERGANTUNG PADA ORANG LAIN DAPAT DIPASTIKAN IA AKAN KECEWA..

semua memang kembali pada diri sendiri. tapi adakalanya orang akan sampai pada titik jenuh,,saat itulah ia butuh lengan yang kan menggenggamkan sebuah semangat,,,

TAPI BISA LENGAN SIAPA AJA KHAN???

seperti yang sudah kusampaikan, orang akan mencari yang mampu membuatnya nyaman. dan itu tidak segampang mencari sekadar "gandengan" ada sesuatu yang besar yang kadang tak mampu diucapkan,,,

SEBENARNYA SECARA TIDAK SADAR KITA ITU SUDAH MENCOBA 'MENGUASAI' SESEORANG ITU DENGAN HANYA MAU COCOK TANPA ADA TAWARAN YANG LAEN. PADAHAL BISA JADI YANG LAEN ITU JAUH LEBIH COCOK DAN NYAMAN DENGAN PERBEDAAN YANG DIMILIKI.

mungkin tuh salah satu kekuranganku sebagai insan yang tak pernah luput dari khilaf dan jauh dari sempurna. sadar atau tidak, telah ada dan selalu ingin mencari pelajaran dari seseorang itu...

TAPI TETAP BISA DIUBAH JADI KELEBIHAN, ASALKAN DARI DIRI KITA SENDIRI MENGINGINKANNYA. KEKURANGAN-KELEBIHAN AKAN SELALU ADA PADA TIAP MANUSIA TAPI BAGAIMANA KITA BISA MENJADIKAN YANG KURANG ITU MENJADI SESUATU...

sedikit goresan

Ukuwah adalah satu pengikat sesama muslim.
Silaturrahim adalah sarana untuk menjaga ukhuwah.
Dan,
Ego serta nafsu adalah pisau yang kan menyayat ikatan itu.

Mudah sekali mengikatkan diri dengan orang lain untuk menjalin pertemanan,
Semudah daun tua kering jatuh dari pohonnya.
Namun MENEMUKAN seorang TEMAN,
Ibarat mencari jarum di atas tumpukan jerami.

Orang bisa merasa nyaman
ketika dia mengingat dan berada dalam ingatan TEMANnya.
Adapun ketidakberdayaan dalam menghadapi keadaan,
Itu sudah termasuk daerah kekuasaan-Nya.
Kita hanya bisa berusaha yang terbaik.
Masalah ego dan nafsu, itu amatlah manusiawi.

Tidaklah adil –menurutku- meminta seseorang
melakukan yang bertentangan dengan hatinya.


Tapi,
Memang mungkin orang ini tak pernah tahu diri.
Dia selalu bermimpi mendekap bintang,
Padahal dia hanya seorang hina.
Siapa dia???
Dia bukan siapa-siapa.
Tak ada secuil pun arti keberadaannya dalam cerita kehidupanmu.

Cobalah kau teriakkan lantang di pendengarannya:
KAMU BUKAN SIAPA-SIAPA!!!
Agar ia sadar, dan berhenti bermimpi mendekap bintang.

Biarkan ia sendiri.
Peduli apa tentang penderitaannya.
Sekali lagi dia BUKAN SIAPA-SIAPA!!!
Peduli apa tentang mimpinya.
Dia BUKAN SIAPA-SIAPA!!!
Peduli apa tentang sakitnya.
Dia BUKAN SIAPA-SIAPA!!!
Peduli apa tentang harapannya.
Dia BUKAN SIAPA-SIAPA!!!

hhmmm...

bisikan angin jelas terdengar membelai lembut jutaan deaunan, membawa kabar tentang peringatan yang telah lama ku abaikan. Tenang kurasa di sini, hening dan damai. Apa kau tahu? Andai ku bisa kembali pada fitrah, ku ingin kembali menjadi selembar kertas tanpa noda dan kutuliskan kisah sebuah perjuangan menuju keikhlasan serta satu damba akan cinta-Nya. Ajari aku cara menghargai, bimbing aku dalam jalan-Nya, dan berikan aku maaf atas setiap khilaf yang telah kuperbuat. Tuntun aku dalam menetapkan tujuan, tegur aku bila ku menyimpang dari sana.
Peduli apa tentang yang mereka bilang? Satu keyakinanku, kekuasaan-Nya. Bukankah itu yang kau bisikkan di pendengaranku? Ingin ku membuat senyum selalu terukir di wajah saudara saudariku. Ingin ku mampu menunaikan kewajibanku dan hak mereka. Tolong selalu bawa ku dalam doamu agar aku bisa menjadi sepertimu.

sangsi di denja jingga

sebuah catatan di sore hari yang ternyata belum lepas dari hinggap kealpaan.
ada getar tak terelaborasi dalam kesendirian ini. ada senyum yang tiba-tiba terlukis dalam memori ini. ada kesal yang sedikit menyergap dalam perenungan ini. ada rindu yang tiba-tiba menyeruak dalam pemikiran ini. ada ragu yang tiba-tiba tersembul dalam pertanyaan ini. dan ada juga kebahagiaan yang tiba-tiba terdesir dalam pelajaran ini.
semakin jauh kumelangkah, semakin tersesat aku di jalan ini. pertarungan yang sangat indah ketika aku mampu menentukan porsi yang tepat untuk tiap inci tubuhku mengambil andil dam pergulatan ini. mata, telinga,, hati, tangan, ah... semuanya mempunyai hak untuk ikut merasakan manisnya kegetiran ini. selalu saja terlontar pertanyaan bodoh ditengah prosesnya yang sebenarnya sudah kuketahui jawabannya. bukan apa-apa, pikir ini hanya penasaran, dan ini "sekedar" ingin tau.
beberapa jenak ku merasa lelah dan jenuh dengan ini. tapi inilah perang itu. seorang teman pernah berkata, "Keluarga itu teman yang diberikan oleh Allah. mau tidak mau, sejauh apapun kita dengan mereka (baik itu dimensi jarak ataupun emosi), pasti kita dan mereka tidak akan bisa dilepas kaitkan".
memang indah ada uluran tolong dalam kerapuhanku, tapi ternyata rencana Allah lebih indah dituruti dengan senyum maaf penuh kesabaran. Lalu rasa sakit yang telah menyayat dan menyisakan luka yang masih berbekas? sebelah sayapku bilang, "Allah Maha Pemaaf meski seisi alam pernah membuat-Nya murka".
memang indah terlihat strategi perang yang mereka tawarkan. tapi adakah itu cocok digunakan dalam semua situasi? aku hanya mempunyai Satu Sekutu dan aku ingin mulai belajar menyerahkan kepercayaanku sepenuhnya pada-Nya.
masih ada rasa sakit yang sering menyapa ketika kuterjebak dalam pertarungan ini. tapi itulah tantangan untuk kutaklukan.
lagipula, lebih indah memandang ini secara obyektif. terlalu mengiris memaksa memandangnya dari kacamata subyektif.
ah... pertarungan ini terlalu kucintai.

satu hari di pantai depok

29 desember 2009, pukul 07.24 di salah satu bangku coklat Fakultas Ilmu Budaya.
Kira-kira satu menit yang lalu aku sampai disini. Terlambat 23 menit dari seharusnya. Dijadwalkan hari ini akan diadakan rihlah pemandu AAI dalam rangka berakhirnya agenda AAI tahun 2009. Aku melihat satu pemandu putra duduk di bangku yang lainnya dengan posisi memunggungiku. Sama-sama menunggu. Ternyata baru kami berdua dari sekian banyak pemandu yang hadir. Satu menit, dua menit, lima menit aku menunggu tidak ada yang berubah. Baru sepuluh menit kemudian seorang pemandu putri datang ketika aku tengah membaca “buku paling sempurna” yang pernah ada di dunia. Dia menghampiri seorang perempuan yang tak kukenal, dan tenggelam dalam obrolan mereka. Aktivitas selanjutnya kembali seperti tadi. Menunggu.
Seiring waktu berjalan, berdatanganlah satu per satu pemandu itu. lima orang pemandu putri –termasuk diriku- dan beberapa orang pemandu putra yang tidak kuketahui jumlahnya. Eits, ada tambahan satu orang pemandu putri.
Tigabelas menit lewat pukul Sembilan, kami beranjak dari kampus FIB dengan mengendarai motor. Rombongan dipisah antara putra dan putri. Tiga orang pemandu putri yang jadi “supir” –entah ada yang sadar atau tidak- memakai kacamata semua. Kompak. Kebut-kebutan, salip menyalip, dan menelusup di antara keramaian jalan menuju parangtritis. Seru. Dengan kecepatan berkisar 50-60 kmh, kami sampai di pantai depok pukul 10.19.
Hal pertama yang kami lakukan adalah, membeli ikan. Empat setengah kilo ikan-yang tidak kami tahu namanya- berhasil kami bungkus. Alasan klasik, cari yang paling murah biar bisa makan rame-rame. Ditengah prosesi pembelian itu, rombongan putra bergabung dan kami bersama menuju warung makan. Urusan ikan diserahkan pada si empunya warung. Kami menguasai empat meja di sana. Acara langsung dibuka dengan pembukaan dan tilawah. –sedikit informasi-, tiga orang yanmg datang lebih dulu dari kami terlihat heran dengan yang kami lakukan. Senyum mereka seolah berkata, “jauh-jauh ke pantai Cuma buat ngaji”. (prasangka penulis-red). Acara “ngaji” itupun tidak terlalu kondusif karena kami diperdengarkan lagu-lagu “aneh” yang membuat kami sedikit tertawa. Setelah tilawah, dilanjutkan dengan perkenalan antar pemandu. Perkenalan lintas angkatan, kira-kira begitulah judulnya. Setelah perkenalan singkat itu, ada sedikit permainan yang intinya adalah tentang “kesan pertama”.
Diistirahatkan dengan shalat duhur, kami kembali menemukan kesegaran ditengah cuaca panas ala daerah pantai. Aroma ikan bakar sudah mampir di hidung kami. Rasa lapar yang memang sengaja diciptakan, membuat hidangan itu terasa begitu nikmat. Kurang dari empatpuluh lima menit, ikan-ikan itu ludes disantap. Alhamdulillah. Kegiatan selanjutnya adalah meniup balon sampai pecah. Tapi para pemandu putra tidak begitu tertarik dengan kegiatan ini. Akhirnya, acara ditutup dan kami langsung berlari ke pantai.
Semakin sore semakin banyak orang di pantai. Kami menikmati sajian karunia Allah dengan penuh sukacita. Ombak yang saling mengejar, pasir yang terasa begitu lembut. Subhanallah… teriakan dan tawa membuat emosi kami terasa lega. Dan akhirnya datanglah waktu untuk pulang.
Satu hari di pantai depok, saat-saat yang begitu memberi pengalaman hebat.

pernah terjadi, pengalaman hebat itu

Suatu saat kuterpaku di kaki langit, menikmati hangatnya sapuan sang surya yang dari tadi kutunggu kemunculannya dari balik bukit itu. Kupejamkan mata beberapa jenak untuk lebih menikmati kehangatannya. Sejuk udara pagi mengeksplorasi seluruh ruang di paru-paruku, membawa kesegaran sebuah semangat untuk memulai hari (yang seharusnya senantiasa) baru.
Mendadak slide-slide itu bermain di ruang imajiku. Menari melintasi batas mengajakku berpetualang ke waktu yang lalu saat kulalui berbagai pengalaman hebat bersama kalian. Pernahkah kau merasakan letupan kebahagiaan yang tiba-tiba saja menyeruak dalam dadamu? Begitulah yang kurasakan, kawan. Buncahan itu tanpa permisi telah lancang mendominasi ruang emosiku pagi ini.
Mindaku terlempar jauh ke sebuah ruangan kelas kusam di sekolah kampung kita. Dengan seragam putih merah itu, kau berdiri kikuk di hadapan kami, dua puluh satu orang teman barumu. Kau tak bisa tegak dalam berdirimu, seolah-olah pandangan kami begitu mengintimidasi. Saat akhirnya kau berhasil mengucapkan namamu dan nama orang tuamu, bergegas kau berlari dan duduk dengan keceriaan itu di bangkumu, di antara kedua orang tuamu.
Pun ketika kita sudah memakai seragam putih biru gelap itu. Kau masih tetap dengan keceriaanmu. Suatu hari kau pernah mengumpulkan beberapa bangku di tengah kelas dan kau menyulapnya menjadi panggung konser kelas kita, sampai seantero sekolah mengenal kelas kita sebagai kelas paling heboh yang susah diatur. Ingatkah kau ketika siang itu kita mendaki bukit di belakang rumahmu? Kita baru menyadari bahwa kita tidak membawa setetespun air minum saat kita sudah hampir sampai di puncak bukit. Dengan pasrah, kita biarkan angin itu berhembus menghilangkan dahaga kita. Atau ketika di kali yang lain kita terjebak hujan badai, juga ketika kita mendaki bukit itu. Ah, senang sekali kita waktu itu.
Dan, kita memakai juga seragam putih abu-abu itu. Kau telah menjadi semakin dewasa. Begitupun aku. Kita telah dituntut untuk lebih bertanggungjawab. Meski ternyata tetap saja, kegilaan kita sering banyak muncul di waktu yang benar-benar tak terduga. Tentu kau masih ingat, ketika menjelang ujian itu kita pergi ke rumah satu kawan kita untuk menonton film yang keluar dua bulan lalu. Dan kita dimarahi ketika ternyata ada satu guru yang melihat rombongan kita. Atau ketika beberapa minggu kita disibukkan dengan latihan baris berbaris itu. Ketegangan dalam tawa renyah tak pernah terlepas dari setiap latihan. Sampai di hari kemerdekaan itu, kita melangkah tegap gagah di lapangan sekolah disaksikan beribu pasang mata. Bangga sekali, bukan?
Begitulah, kawan. Pernah terjadi pengalaman hebat itu. Jika suatu hari kau pernah mengalahkanku dalam permainan kelereng itu, aku membalasnya dengan mengalahkanmu ketika lomba berenang di sungai itu. Kita telah belajar berkompetisi sehat sejak saat itu. Jika dulu kita sama-sama belajar mengeja dari pak ustadz di surau samping kali itu, kini kita telah bisa berbicara. Pernah satu hari kau mengambil buku pee r ku tanpa izinku karena pagi itu juga akan diperiksa, hanya sedikit kesalku, karena saat itu kita berbicara tentang solidaritas yang sebenarnya belum terlalu kita ketahui maknanya. Pun, ketika pernah ku menemukanmu menangis di pojok kelas itu, aku hanya bisa menawarkan bahuku untuk menjadi sandaranmu. Bagi mereka ini begitu picisan, tapi tidak bagi kita. Pengalaman hebat itu begitu indah, kawan. Aku merindukannya…

maka, sudahkah engkau tahu?

kau adalah dirimu sebelum aku mengenalmu. dan ternyata, semakin aku mengenalmu, semakin asing kau terasa bagiku. ataukah mungkin, malah aku yang semakin membatasi pembagian itu? bantu aku untuk meluruskan ini, kawan.
tahukah engkau tentang pelajaran-pelajaran yang kau berikan padaku? dalam sadarmu atau ketidaksengajaan itu. aku selalu merasa beruntung telah dipertemukan denganmu, karena di setiap sua, kau beri aku pelajaran dalam universitas kehidupan yang biaya pendidikannya tak pernah menjadi perhitungan kita.
ingatkah engkau petualangan hebat yang pernah kita lakukan? terencana ataupun kebetulan. kau membuatku mengeksplorasi berpuluh karakter yang selama ini tersembunyi dalam topeng-topengku. kita berlari, berseru, dan menantang rintangan di hadapan. hebat sekali pengalaman itu, kawan
sadarkah engkau tentang sesalku ketika aku tak mampu menjadi teman perjalanan yang bisa kau andalkan? ketika kau butuh sandaran, ternyata aku tak terlalu kuat untuk menopangmu. ketika kau ingin didengarkan, seringkali aku bersikap egois dan malah menutup telingaku. maaf untuk semua itu.
merasakah engkau rindu yang tiba-tiba kurasakan? saat kita terpisah sejenak oleh jarak, waktu, juga urusan pribadi kita. kadang senyumku menjadi tak bisa diartikan sesederhana itu. pergulatan batin itu sungguh melemparkanku pada keterasingan yang begitu menyesakkan.
dan, tahukah engkau tentang kecemburuanku yang sering muncul ke permukaan saat aku tak bisa berbagi kebahagiaan denganmu? sungguh kawan, cemburuku begitu besar. aku tahu kau dan aku telah berbeda sejak kita belum bersua, aku tak mau mempersalahkan itu.
maka, sudahkah engkau tahu betapa aku menyayangimu? meski seringkali aku tak mampu menampakkan itu dengan selayaknya. sungguh, aku menyayangimu...

malam perpisahan

Dua bulan lamanya matrikulasi yang dijalani peserta PBSB 2008 di PPPPTK kaliurang. Rangkaian panjang kebersamaan, kehebohan, juga kegilaan itu ditutup dengan serangkaian acara pada tanggal 15 Agustus 2008. Sepenggal kenanganan itu saya tuliskan ketika dengan tidak sengaja saya memutar beberapa rekaman yang saya buat saat acara berlangsung.

Ruang Dekorasi, beberapa jenak selepas isya.
Agung : “Bismillahirrahmanirrahim, assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
D’zero : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”
Agung : “Alhamdulillahirabbil alamin, wassholatu wassalamu ‘ala sayyidul anbiyai’ mursalin wa ’ala aalihi wasohbihi wasallim, amma ba’du. Segala puji bagi Allah swt yang telah menyempatkan kita di ruang ini. Dan juga shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad saw Yang telah membawa kita kepada kehidupan yang benar”
(D’zero bergemuruh)
Agung : “Dan, waktu telah berlalu…”
D’zero : “Cie…”
Agung : “Kita sudah dua bulan mengarungi matrikulasi”
(Di belakang ada yang berisik)
Agung : “Mohon saudara Lutfan diem dulu sebelum saya kirim kembali ke Aceh”
D’zero : “Hahahaha…”
Agung : “Saya disini mewakili kelas IPS, pertama-tama ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah bersama-sama mengarungi matrikulasi ini. Dan juga kami sebagai kelas IPS ingin mengucapkan mohon maaf sebanyak-banyaknya apabila ada kesalahan, kegilaan dan salah lainnya yang berasal dari kami. Apabila subuh-subuh ada suara berisik itu pasti Lutfan. Kita tengah malem ngopi. Kalo mengganggu, mohon maaf”
(D’zero berisik)
Wahib : “Kalo malem yang ngorok Agung”
D’zero : “Hahahaha…”
Agung : “Udah udah, serius. Dan kemarin kelas IPS sudah melakukan perpisahan. Semuanya sudah menyampaikan pesan dan kesan masing-masing. Ada yang kesan pertamanya amazing, wonderful, dan sebagainya. Dan ada satu kata yang bisa merangkum, yaitu fantastic. Kalau kesan saya sendiri pertama kali nyampe ke sini, “Ah, mampus gua. Religius banget kayanya”. Pertama kali begitu. Eh terakhir-terakhir nemunya orang-orang gila yang di belakang itu,” (nunjuk gerombolan santri putra kelas IPS)
D’zero : “Hahahahaha…”
Wahib : “Adib kamu dikatain”
D’zero : “Hahahaha…”
Agung : “Ga usah terlalu panjang. Hidup imadega, Allahu akbar.
Demikian pesan dan kesan dari kelas IPS”
Wahib : “Kenalan dulu, Gung, nama kamu siapa, Gung”
Agung : “Kalo ga tau, ngapain pangil nama tadi?”
Wahib : “Engga, soalnya bertumpuk agung banget”
D’zero : “Hahahaha…”
Agung : “Demikian, Billahi taufik wal hidayah
Wassalamu’alaikum qarahmatullahi wabarakatuh”
D’zero : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”

Setelah acara pidato rampung, agenda dilanjutkan dengan “PENSI” yang cukup aneh tapi seru abis di halaman depan asrama. Berikut potongan musikalisasi puisi yang dipersembahkan kelas IPS :

Agung : “Cepetan mulai. Yelah… lama banget. Kordinir, Fan”
Lutfan : “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
D’zero : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”
Lutfan : “Nama saya Lutfan al Kamil”
D’zero : “Wuuuuu…”
Wahib : “Dan saya Wahib…”
Lutfan : “Satu dua tiga”
Putra IPS : “Waktu terasa semakin berlalu tinggalkan cerita tentang kita. Agar tiada lagi kini tawamu tuk hapuskan semuas sepi di hati. Ada cerita tentang aku dan dia saat kita bersama saat dulu kala. Ada cerita tentang masa yang indah saat kita berduka saat kita tertawa”
Agung : “Selalu. Malam ini bulan purnama kembali bersinar,”
D’zero : “Ga ada…”
Agung : “bersinar lembut keemasan. Dan langit membentangkan layar perak, pipih. Dan bintang-bintang pun mulai memutar dalam detik dimana kita bernafas, hidup. Dalam menit dimana kita merasa, merenung. Setiap jam dimana kita berbicara, saling mengerti. Setiap hari dimana kita berbagi bersama. Dan bulan-bulan, bulan-bulan yang telah lewat, kita bersama dalam duka dan tangis, harapan dan bahagia, serta tujuan-tujuan kemana pijakan kaki kita selanjutnya. Apapun yang terjadi jangan pernah untuk berpikir semua berakhir disini. Dimanapun kau berada, Sahabatku, ingatlah kau punya jutaan ratusan triliyunan sahabat tempat untuk kau kembali. Dan kapanpun kau merasa kakimu telah lelah untuk melangkah, teruslah berjalan, tempa semua jalan yang ada di hadapanmu. Terabas terjang hancurkan semua rintangan, yakinlah pada akhirnya kau kan sampai di ujung penantian. Percayalah Sahabatku, kami selalu bersamamu, di sisimu.
Yogyakarta 15 agustus 2008”

D’zero : “Ada cerita tentang aku dan dia saat kita bersama saat dulu kala. Ada cerita tentang masa yang indah saat kita berduka saat kita tertawa”
(direkam tanpa perizinan pihak terkait, dengan sedikit bagian yang terlewatkan)

bukan begitu teman

aku tak tahu siapa dirimu saat kau lancang masuk merecoki lukisanku. tapi berjuta pelajaran yang ada padamu, sungguh tak mampu aku menolaknya mentah-mentah. bahkan aku telah dibikin kecanduan olehnya. namun sungguh, aku membenci arogansi yang kau tunjukkan dengan diam dan katamu, dengan gelak dan tegurmu. emosiku benar-benar diaduk sedemikian rupa hingga ia tak berbentuk lagi. aku tak pernah menuntut apa-apa darimu -dan tak akan pernah sampai kapanpun- , karena aku tak suka itu. kau telah memberiku terlalu banyak, sampai-sampai kapasitas yang kusediakan untukmu telah lama mengeluh bahwa ia tak sanggup menerima lagi.
apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, kau tak pernah dengan tegas dan jelas memberitahukannya padaku. sungguh, aku benci meraba-raba. aku bukan orang yang mampu menembus kepalamu untuk membaca apa yang kau simpan dalam otakmu.
tak berlebih lah kiranya jika sekarang kusampaikan, "Aku tak mau lagi terjebak dalam lingkaran kabut hasil karyamu". kau masuk tanpa permisi, dan aku cukup menghormati keberadaanmu dalam beberapa jenak itu. bukan aku tak mensyukuri apa yang coba diberikan-Nya lewat dirimu, tapi kau terlalu jauh melanggar batasmu. maaf, aku hanya seorang manusia yang juga punya lemah, kurang, dan alpa.
aku tak marah padamu, hanya saja seringkali aku tak bisa menerima perbuatanmu. aku sangat menghormatimu, tapi aku tak bisa diam saja melihatmu mengobrak-abrik yang bukan wilayah intervensimu.
sudah kubilang, bukan itu yang kumaksud. kenapa kau tak jua paham? bukan, bukan begitu. apa yang telah kau tuduhkan itu terlalu kejam buatku. tapi aku tak mau memperpanjang ini. jika kau memang melihatnya begitu, silakan bertahan dengan pendapatmu. aku sudah menetapkan posisiku, dan kau tetap bisa melihat dimana aku melanjutkan lukisanku.

marahkah aku?

aku tidak suka dengan apa yang sudah kau perbuat, teman. kau terlalu banyak menyeretku dalam resiko yang berlebihan. aku tidak suka itu. marahkah aku atas tingkahmu ini? aku tak yakin dengan apa yang menguasai hatiku sekarang. apa yang kau lakukan sudah amat sangat melanggar kesepakatan kita. namun aku bertanya pada diriku, apa yang akan kudapat dari marahku jika aku memang marah padamu? jawabannya ternyata adalah rasa yang jauh lebih menyakitkan dari ketenangan yang akan kudapatkan jika aku membiarkan kesal ini berlalu dengan sendirinya. hanya kuminta, tolong bantu aku untuk menjaga hatiku, janganlah kau terlalu sering mengusik proses yang sedang ia jalani. aku tak akan mau sampai merelakan kemarahan berkuasa atasku.

karena, memaafkan itu akan selalu lebih lapang...

a souvenir from second meeting of drama II

(even though the characters and the class are real, this story scene is trully 100% fiction. this story is inspired by group discussion of Arthur Miller's All My Sons on friday, March, 12nd 2010 @ margono 3.4 from 09.30-10.20 am. in the goup there are : Ahmad Saeroji, Okki Irviana, Pujaria Farida, Rahmat Fetrianto, and Rima Amalia)

Puja : "So, who will represent our group for the presentation?"

Rima : "Yap, who will be the artist?"

Okki : "Patrick ..."

Oji : "Okki ..."

Puja : "one vote for Patrick"

Okki : "one more for Patrick"

Rima : "Agree"

Okki : (to Patrick) "Although you dont agree, three to one, you lose. you have to deliver the summary"

Patrick : (hesitants) "okay, i will"


Professor : "well, group one, what did you get?"

Patrick : "The social responsibility which transent into self interest is bla bla bla ... in this play, one who represent the case is bla bla bla ... (and so on)
that is meant by it. thank you"

Professor : "so, does he has social responsibility?"

Patrick : (shocked by the question, looking for help from others member of the group. he is scared and answers with trembling,) "mmm... sorry mom, but i'm not under the position to answer the question"

Professor : ???

Patrick : -__-'

Professor : >,< "so, where is your position?"

Patrick : (afraid) "Maybe... somewhere over the rainbow, mom"

Professor : @#$>>x$%&@ ...!!!

Class : "wuahahahahahahahahaha"

Group one : "what the hell that answer is. ahahahahahaha"

(special thanks to :
Mrs. Esmeraldayanti, thanks for lecturers us, it is a great lesson, Mom
Rahmat Fetrianto, sorry for making you represent us
Ahmad Saeroji, Okki Irviana, and Rima Amalia, nice discussion with you guys
All Elite 08, great amazing class the whole study with you all)

Salima, March, 12nd 2010
12.18 pm

pagi tadi

Dua hari yang lalu, beliau masih menyapaku dengan anggukannya yang selalu sederhana. anggukan yang selama satu setengah semester ke belakang mengantarkan kepergianku menjelajahi bumi Allah dan menyambut kedatanganku ketika lelah aku pulang ke peraduanku. jarang sekali aku mendengar beliau berucap, hanya anggukan dan tatapan itu yang menjadi cara kami berkomunikasi.
dan, pagi tadi kabar duka itu menghampiri ku. beliau telah kembali ke pangkuan Rabb-nya. aku tak tahu apa yang tengah berkecamuk dalam dada ini. yang pasti, aku akan merindukan sosoknya yang selalu duduk di kursi depan itu, yang selalu mengantar dan menyambutku dengan diamnya.

Selamat jalan, Mbah.
Semoga "tidur"mu tenang di sisi sang Khaliq, amin.

Salima, 5 April 2010
11.20 pm

my wonderful land, indonesia

this is a poem written by Ahmad Saeroji, Okki Irviana, Pujaria Farida, and Ramdhani Bangun, edited by Dra. Sharifah Hanidar, M. Ed
it should be recited at 3rd June in Auditorium FIB.
here it is...

My Wonderful Land, Indonesia

When I strolled with nature,
I saw clusters of trees
planted their heavy feet on Prithvi.
I saw birds of paradise
flying through the exquisite archipelago.

I might tell you!
what an affluent country I have here.
Live on the thrivin' island,
with the green foliage, fresh water,
cool air, plenty of quarries.
they say -a land of heaven.
and you know? it's mine!
My wonderfil land, Indonesia.

look around you, my little fellows,
books and knowledge are everywhere.
kids sing in the kindergarten,
boys and girls enter the elementary school
since they're seven.

junior high, senior high, and the university,
they are accessable for all in this country.
stop thinking about the fee, parents!
'cause the gov gives you the subsidy.

Hmmm,
they are our children,
the great successor of this heaven.
they eat fish and drink milk,
grow strong in tranquility.
they run with their healthy body,
run into the straw of expectancy.

and you see?
they are our parents,
sitting relievely in the arm chair.
no stoke, no diabetes, no heart attack.
they thank us for the health care we gave,
portrait a smile in their old age.

we are proud of being Indonesian.

azka minimarket

AZKA nama minimarket itu. terletak beberapa puluh meter dari gerbang PPPG, minimarket ini menjadi tempat yang sering kukunjungi kala barang persediaan di kamarku dulu habis. setelah hampir dua tahun meninggalkan PPPG, kemarin untuk pertama kalinya, aku melongok kembali ke minimarket itu. banyak sensasi aneh yang tiba-tiba menyergap, mengingatkanku pada dua bulan yang begitu berharga selama matrikulasi dulu.

beberapa sore sering aku menghabiskan waktu di minimarket ini hanya untuk sekedar menunggu maghrib. apa yang kuperlukan sebenarnya tidak banyak, hanya saja, aku senang bolak-balik melihat-lihat isi beberapa rak disana.

di depan minimarket ini, pertama kali aku belajar naik motor. petang itu sepulang dari genesis di jakal bawah, gas kutancap saat gigi masih berada di posisi nol. alhasil, raungan motor itu membuat seisi minimarket melongok keluar. dan seorang perempuan menyarankan pada kawanku untuk memboncengku saja.

di minimarket ini pula, aku mendengar lagu almost here-nya Brian McFadens saat sesuatu hal terjadi dalam fase hidupku. dan sekarang setiap kali aku mendengar lagu itu, sensasi aneh ini kembali menyergap. ada satu kerinduan yang mendera. rindu yang aneh.

ke minimarket ini pula aku dan beberapa kawan mampir untuk membeli minuman sepulang dari kampus ugm dengan berjalan kaki dari pertigaan besi sampai asrama, menjelang maghrib.

pernah juga malam-malam aku mengunjunginya karena harus membeli obat dan beberapa perlengkapan untuk tes toefl.

Ah, masa-masa itu. senang sekali pernah berada di sana.

heteroginitas dalam ukhuwah

Seorang saudaraku pernah berkata, “karena iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi, maka ukuran keimanan itu diletakkan pada hubungan kita dengan sesama manusia”. Langsung disambut oleh saudaraku yang lain, “itulah kenapa ukhuwah disebut sebagai saudaranya keimanan. Saat hubungan kita dengan manusia kurang beres, maka mungkin memang iman kita sedang bermasalah”.

Ukhuwah, persaudaraan = kebersamaan.

Mulailah selalu terngiang di benak pikirku, jika kebersamaan itu selalu lebih indah dari pada perpecahan dan perselisihan, kenapa kita tak terus saling menghargai saja agar bibit keretakan itu tak pernah bisa bertunas?

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Al Hujuuraat (49) : 13

Dalam keluarga kecilku, kutemukan berbagai karakter saudara-saudaraku yang selalu membuatku terkagum dan terinspirasi untuk bergerak. Ada si jilbab ungu yang begitu lembut dan sopan tutur katanya. Si jilbab putih yang begitu menggebu menuntut ilmu. Ada si jilbab abu-abu yang selalu bersemangat bahkan dalam saat-saat sulitnya. Ada juga si jilbab coklat yang selalu ceria dan tak bosan mengajakku berrihlah mantafakuri semesta raya. Pun ada juga si jilbab biru yang selalu malu untuk bertanya namun selalu bijak dalam tiap kalimatnya.

Yap, perbedaan warna itulah yang membuat pelangi menjadi indah. Akan selalu ada semangat di saat-saat sulit, dan akan selalu ada nasehat diatas semua kesuksesan yang tercapai. Keberagaman itulah riak yang akan menjadikan arus lebih ceria, selama letupan-letupan itu masih berada dalam koridornya.

Si peci hitam itu selalu bersemangat menyebarkan informasi. Sementara si koko putih selalu mencarikan garis tengah atas perbedaan pendapat. Yang bersarung hijau itu selalu menjadi referensi wisata kuliner dan tempat outbond dengan track yang menyenangkan. Beruntung ada si sorban merah yang selalu siap menjadi penalang dana di saat-saat genting.

Mereka tak sama. mereka datang dengan keunikan dan kelebihan masing-masing. Tak bisa dipungkiri memang ada saat-saat dimana mereka khilaf, tapi itu bukanlah aib yang bisa diumbar menjadi rahasia umum. Perbedaan pendapat dan kepentingan adalah keniscayaan, tapi bukan berarti itu lantas menggilas hak-hak saudara kita yang ada pada diri kita.

Ukhuwah itu adalah penghargaan, maka tabayyun itu akan selalu lebih utama dari pada prasangka. Ukhuwah itu adalah nasehat, maka mengingatkan itu selelu lebih baik dari pada mencemooh. Ukhuwah itu adalah kebersamaan, maka saling membantu itu lebih indah dari pada saling mendiamkan.

Perbedaan-perbedaan yang ada bukanlah benteng ataupun jurang yang harus membuat jarak antara saudara yang satu dengan saudara yang lain. Justru itu adalah sebuah kekayaan yang membuat wawasan lebih luas, hati lebih lapang, dan pikir lebih terbuka. Maka bukan curiga yang ada saat seorang saudara dalam masalah, namun khawatir. Bukan marah yang ada saat terjadi perbedaan pendapat, melainkan penghargaan. Dan bukan lega yang dirasa saat berjauhan, tetapi rindu untuk berkumpul dalam majlis ilmu atau diskusi yang penuh berkah.

Semoga kita bisa menjadi orang-orang yang senantiasa mengingatkan saat langkah sudah keluar jalur, juga menjadi tempat pengisian kembali semangat saat lelah menggelayuti.


*pada keluarga kecilku, sungguh, kurindu berdiskusi dengan kalian. Ingin sekali kuulang lagi pagi di pantai itu, saat kita beradu lari, bermain pasir, dan mengejar ombak. Makan dari piring yang sama, dengan hidangan yang sama. ah, ternyata memang, pertemuan yang jarang itu membuatku makin mencintai kalian. Rindu pada kalian…

saudaraku yang satu itu

ada sesak yang menyeruak di dada ini. saat kutahu bahwa aku tak mengetahui apa-apa tentang saudaraku yang satu itu. terakhir bertemu, dia mengatakan dia sedang menghadapi sesuatu, tanpa membiarkanku tahu apa sesuatu itu. lalu dia mengantarkan kepergianku malam itu dengan seuntai kalimat, "you don't have to worry, honey. percayalah, ada Allah yang selalu membersamaimu". dan kulihat, sebuah senyuman yang membuatku tergetar terlukis di wajahnya yang terlihat lelah.

aku tak tahu tanggal kelahirannya, aku tak tahu makanan dan warna apa yang dia suka, aku tak tahu apa yang selalu dia lakukan disaat-saat sendirinya. aku tak tahu. yang aku tahu, sekarang dia sedang menghadapi masa-masa sulitnya. sayangnya, pun aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu meringankan bebannya.

ukhty,,
tahukah kau sakit sekali hati ini melihatmu seperti itu. pernah kau melakukan sesuatu yang memang kubutuhkan, tanpa seizinku. dan kau malah tersenyum tak merasa bersalah menyemangatiku saat itu. maka sekarang, izinkan aku membalas hutangku itu. izinkan aku mengenyahkan sesak yang beberapa malam ini terus menggelayuti pikir dan perasaanku.

sungguh, aku mencintainya

Tersentak di detik itu.

Saat baru kusadari sepenuhnya keberadaannya, tepat di hadapan pandangku. Dia telah berada di sana sejak beratus hari kemarin, namun bodoh sekali aku selama ini membuatnya terabai. Maka sekarang, izinkan aku untuk mengejawantahkan gemuruh, letupan, dan buncah yang begitu menggetarkan qalbuku ini. Sungguh, tak kuasa aku menyimpannya sendiri.

Diperkenalkan dalam ketidakterdugaan, jarang kami bertegur sapa. Dipersatukan dalam berbagai kesempatan, saling enggan memantik perbincangan.

Hanya anggukan

dan senyum seadanya

saat bertatap muka.

Kesibukanku melalaikan perhatianku akan keberadaannya. Kesehariannya pun tak pernah mengundang perhatianku secara terang-terangan.

Ia berkarya dalam diamnya.

Aku bergerak dalam nafasku.

Satu hari yang kulewatkan bersamanya kemarin, telah berhasil membuka mataku atas kebutaanku terhadapnya selama ini.

Sungguh, Aku mencintainya.

Aku terpikat oleh senyumnya,

Aku terpukau oleh kesantunannya,

dan

Aku terpana oleh keserhanaannya.

Sungguh, Aku mencintainya.

Sabarnya membuatku malu atas ketergesaannku.

Bijaknya mendorongku berkaca untuk mempunyai sikap serupanya.

Perjuangannya menamparku atas kemalasan yang selama ini kupelihara.

Sungguh, Aku mencintainya.

Yogyakarta, 24 Agustus 2010

8.49 am di bangku coklat kampus tercinta.

hujan ini

Deras.
Dingin yg terhembus, mengingatkanku pd sore itu, saat kau berkeras tuk tetap menemani dlm sakitku.

'knp kau bertahan disini?' ujarku sepenuh tanya.
'karena, aku menyayangimu,' jawabmu mantap.
'terima kasih tuk kesabaranmu atas keras kepalaku,' hanya itu yang sanggup ku ucap.

'kau adalah bagian diriku. Apa yg kulakukan skrg, tak sebanding dgn kebahagìaan yg kau beri padaku. Maka, izinkan aku tetap di sampingmu, karena, ku ingin menjadi yg pertama melihat senyummu.'

di dua tahun itu

Dua tahun. adakah bagimu ini waktu yang sebentar, ukh?

tergantung dari sudut pandang mana kau meminta jawabanku, ukhty sayang.

dalam cara yang seperti apa waktu ini menjadi sebentar bagimu?

pertemuan kita, kebersamaan kita, serasa baru kemarin aku menemuinya. pelajaran yang kudapat darimu masihlah seujung kuku, aku masih ingin mendapatkannya lagi.

dan keadaan semacam apa yang membuat dua tahun itu menjadi lama bagimu?

karena selama itu, aku masih belum mampu memberikan apa-apa padamu.

kau bercanda, ukh. pikirmu selama ini apa yang telah kau lakukan padaku? kau memberiku pelajaran, semangat, dan dukunganmu.

lalu dirimu, apa dua tahun waktu kita bagimu?

jika waktu dapat ku kendalikan, aku ingin tetap berada di waktu ini bersamamu. Namun bukankah detik itu terus berlari?

dan ia tak akan pernah kembali.

aku merasa belum mengenalmu, ukh.

maka begitu pula aku. Masih sering bersikap egois dan tak peka pada keadaanmu.

dan aku selalu tak ada saat kau perlu seorang teman.

Tapi, bukankah kita senantiasa mengingatkan saat sudah berjalan keluar jalur ini?

dan senantiasa menasihati saat hati-hati kita telah menjadi begitu kering.

Dan, bagaimanapun, perpisahan itu suatu keniscayaan yang tidak bisa kita hindari bukan?

hanya raga kita yang mungkin akan terbatasi ruang dan waktu, ukh. Bukankah hati kita masih saling berpelukan? sama seperti pertemuan pertama kita. hati-hati kita telah saling mendekap, bahkan saat tangan belung saling berjabat.

Maka, ingatlah selalu aku dalam setiap shalat malammu, ukhty.

dan tolong selalu sebut namaku dalam setiap doa yang kau panjatkan.

(kita sama tersenyum. genggam itu semakin erat. dan jingga di senja itu menjadi saksi saat kita mengambil langkah kita masing-masing.

Saudaraku, dimanapun kita berada, semangat dedikasi itu selalu menyala. ku berharap, suatu hari nanti kita akan dipertemukan dalam kebahagiaan yang lebih barakah. amin. )

hadiah untuk saudaraku yang satu itu

Catatan di satu petang, selepas bertemu dengan saudaraku yang satu itu.

Ukhty, ada yang sedang bergemuruh di dadaku saat ini. Bahagia, haru, dan juga pedih. Bahagia serta haru, karena akhirnya aku bisa bertemu denganmu dan menyampaikan hadiah kecil yang sudah kupersiapkan untukmu. Pedih, karena aku tak suka dengan perpisahan kita, sesuatu yang amat sangat kutakutkan sejak awal pertemuan dulu. Namun bagaimanapun, itulah sebuah keniscayaan yang tak bisa kita pungkiri, bukan? Maka aku berusaha untuk menerimanya, dengan senyuman. Dan, itu pula yang kuminta darimu.

Kau tahu? Saat pertama kali aku mengetahui bahwa kau sakit, ada sesuatu yang begitu mengusikku, menyesakkan dadaku. Kucoba menghubungimu, tak pernah ada jawaban. Dan itu sungguh membuatku sangat khawatir. Ada dua kemungkinan yang bisa kupikirkan: Sakitmu begitu parah sampai kau tak bisa menjawab sms dan telponku, atau, ada sesuatu dari diriku yang meninggalkan ketidakridhaan di hatimu sehingga kau memilih untuk mengabaikanku. Dan jawaban itu kuperoleh juga: Katamu kau tak mau membuatku khawatir. Yah, aku bisa menerimanya, meskipun sempat ku kesal karena tak tahu keadaanmu.

Ba’da ashar tadi, seorang temanmu memberitahu bahwa kau sudah sampai. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Hujan di luar begitu deras. Aku tak yakin bisa menerobosnya, karena kemarin malam aku bahkan tidur lebih awal sebab sakit itu kembali menggerogoti. Lalu kutanyai beberapa temanku, adakah yang bisa mengantarku ke tempatmu dengan motornya? Tidak ada. Sejenak kupikirkan untuk memberikannya besok saja, aku akan mencegatmu di kampus.

Tapi, siapa yang bisa menjamin aku masih hidup besok pagi? Kubulatkan tekadku untuk menerobos hujan deras itu. Dengan sepeda yang tak bisa kuajak melaju cepat itu, kubiarkan butir-butir air itu membasahiku. Nikmat sekali, ukh. Kurasakan betul setiap kayuhan untuk menuju ke tempatmu. Memburu nafas untuk tetap memperoleh tenaga. Asyik sekali. Dan, tahukah engkau? Tanjakan itu berhasil kulewati tanpa aku harus turun terlebih dahulu –meski dengan susah payah-.

Dan, banjir yang kudapati sepanjang jalan itu, berhasil membuat kaos kaki dan rokku basah. Aku berpikir nanti akan memintamu keluar untuk menemuiku, atau, kau izinkan aku masuk dengan catatan aku akan membasahi lantai kamarmu. Namun ku urungkan niat itu. Aku ingin memberikannya langsung padamu, aku yang datang menemuimu, sebuah kejutan untukmu.

Kau sedang membereskan barang-barangmu saat aku melangkahkan kaki ke kamarmu. Apa tadi ekspresi itu? terkejut, senang yang bercampur dengan kesal, saat aku menunjukkan hadiah yang sudah kupersiapkan untukmu. Katamu aku terlalu merepotkan diriku. saat sadar aku datang dari hujan yang deras itu, kau berkeras memaksaku untuk berganti pakaian, sampai kau bolak-balik mencari pakaian untukku di lemarimu. tapi, aku berhasil menunjukkan padamu, bahwa aku baik-baik saja, bajuku tidak basah.

Tahukah engkau, Ukhty-ku sayang, ada banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Ganjalan dan beban yang sungguh ingin kubagi, agar aku tak menanggungnya sendiri. Namun sungguh, aku tak kuasa untuk memberitahukannya kepadamu. Maka, aku hanya bisa tersenyum, karena kutahu, kau pasti juga lelah dengan sakitmu yang belum sembuh itu.

Maafkan aku telah memaksamu untuk membacakan surat itu. Aku tahu, kau pasti akan menitikkan bening dari sudut matamu jika kau membacanya, itulah dirimu. Tapi aku tetap mendesak, karena yang kuinginkan adalah mendengar suaramu, membacakan itu untukku. Di sepertiga surat itu, kau benar-benar membanjir. Maka kuambil ia untuk melanjutkan bacaanmu tadi. Dan, kau semakin mengharu. Hingga selesai ku membacanya, akhirnya kita berpeluk mesra. Kita saling membisikan nasihat, saling menguatkan.

Aku tahu, hari ini aku telah membuatmu menangis. Maaf untuk itu. Yang jelas, kurasakan ganjalan yang itu sudah terlepas, aku sudah menunaikan mimpiku.

Dan selepas ini, biarlah ruh-ruh kita tetap saling berpeluk mesra, hati-hati kita saling mendoa, dan, senyum-senyum kita saling memberi semangat. Meskipun nantinya aku pergi ke pulau yang katamu asing dan kau tidak bisa mengaksesnya itu, insyaallah akan selalu ada pelajaran dari setiap hal, ukh. Semoga kita bisa bertemu lagi, dalam kebarakahan persaudaraan kita. Tetaplah tersenyum, ukhty-ku sayang, karena itu yang selalu menguatkanku.

sept 25th, 2010

mendung tengah menggelayuti hatinya,

membuat ia benar-benar kelelahan.

ada yang membuatnya berduka hari ini.

sebuah kepergian dari ruh yang beberapa waktu lalu

mengakrabinya, membuatnya nyaman, juga merasa terlindungi.

bukan lagi gerimis yang kini mengalir dari kedua beningnya,

namun kaca itu telah pecah menjadi banjir.

ia rapuh di saat kembali mengalami kehilangan itu.

setelah bergelut dengan sakitnya sendiri,

kini ia sedang menghadapi badai yang menyerakkan kepingan perasaannya.

ia hanya ingin sebuah pundak,

untuk menumpahkan sesak di dadanya

hadiah sebuah mimpi

“Kalau begitu, saya pamit dulu, Abi, Umi,” ucap lelaki muda itu penuh hormat pada dua orang di hadapannya.

“Hati-hati di jalan, Nak. Semoga ridho Allah selalu menyertai setiap langkahmu,” ucap Umi yang diamini dengan anggukan oleh pemuda itu. “Tolong bantu kami dengan shalat malam dan doa di penghujung sujudmu, Nak,” ujar Abi. Anak muda itu mengangguk takzim. Setelah mencium tangan Abi dan beruluk salam, pemuda itu beranjak meninggalkan ruangan. Abi dan Umi mengiringi kepergiannya dengan senyum dan untaian doa untuk kebarakahannya. Sampai pemuda itu menghilang di balik pagar, barulah Abi dan Umi menutup pintu ruang tamu.

Dan, jingga mulai menggores di ufuk barat. Beberapa menit kemudian adzan berkumandang. Gaungnya membahana memanggil ummat untuk menunaikan kewajibannya. Shalat, rehat yang menentramkan setelah seharian sibuk dengan urusan di luar rumah. Masjid pondok pesantren putri Daarul Jannah mulai diramaikan oleh para santri yang hendak shalat berjamaah.

---

Unit gawat darurat, pukul setengah sembilan malam.

“Kamu dirawat aja ya, Syah,” ujar Salsa sembari menatap mata Aisyah yang setengah terpejam. Kemudian kedua mata itu kembali terbuka sempurna demi mendengar kalimat itu.

“Aku mau pulang aja, Sa,” jawabnya lemah.

“Nggak bisa, sayang. Badan kamu terlalu lemas untuk dirawat di kos, di sana ga ada yang ngerawat kamu. Di sini kan ada dokter sama suster kalo nanti kamu butuh apa-apa.”

“Sa…” Aisyah menatap mata Salsa. Ada yang ingin diucapkannya, namun kalimat itu tak kuasa terucap dari bibirnya.

“Udah kamu ga usah mikirin apa-apa. Yang penting kamu sehat lagi, ya. Sekarang istirahat aja.” Salsa membenahi selimut Aisyah. Obat tidur yang tadi diberikan dokter tampaknya sudah mulai bekerja. Aisyah langsung memejamkan kedua matanya.

Aisyah kemudian dipindahkan ke ruangan rawat inap di lantai dua. Sudah ada satu kasur yang terisi dari enam kasur yang ada di ruangan itu. Seorang nenek yang ditunggui dua orang perempuan, mungkin anak dan cucunya. Aisyah ditempatkan di kasur dekat jendela. Dia sudah benar-benar terlelap. Salsa menitipkan Aisyah pada ibu yang menjaga nenek itu. Malam ini dia harus menyelesaikan tugas kuliahnya, jadi tidak bisa menemani Aisyah. Lagi pula, Abi sama Umi pasti mengkhawatirkannya. Arlojinya menunjukkan pukul setengah sepuluh saat Estilo biru itu meninggalkan parkiran rumah sakit.

Seperti yang sudah ia duga, lampu ruang tamu masih menyala. Pintunya terbuka lebar. Terlihat Umi yang sedang membaca Al-Qur’an di atas sofa dan Abi yang berdiri tegak di depan pintu. Begitu mendengar deru mobil Salsa dari balik pagar, Abi langsung bergegas membuka pagar itu sampai sempurna. Tanpa banyak bicara, Abi meminta Salsa langsung masuk dan Abi yang memasukkan mobil itu ke garasi. Sampai di ruang tamu, Wajah khawatir Umi langsung menyambut Salsa.

“Maaf Abi, Umi, Salsa baru pulang jam segini,” ucapnya penuh penyesalan.

“Ponsel kamu nggak bisa dihubungi, nduk. Umi sama Abi khawatir ada apa-apa sama kamu,” jawab Umi lembut, tapi kekhawatiran masih membuat suaranya sedikit bergetar.

“Pasti ada alasan yang mau kamu jelaskan sama Abi dan Umi, kan?” tanya Abi begitu menutup pintu dan menguncinya.

“Iya Abi, Umi,” Salsa duduk di samping Umi, sementara Abi duduk di hadapan mereka berdua.

“Selepas mengantar titipan Umi buat ibu Fajar, Salsa mampir ke tempat Aisyah,” ujarnya. “Kamarnya terlihat gelap, padahal sudah hampir isya. Salsa lihat kunci kamarnya masih menggantung di luar dan sandalnya juga ada di depan pintu. Salsa nekat saja masuk karena diketuk berkali-kali tidak ada jawaban. Setelah Salsa menyalakan lampu, barulah kelihatan Aisyah tergolek di lantai di samping kasurnya. Susah payah Salsa membawanya ke mobil dan langsung ke rumah sakit. Dokter menyarankan agar Aisyah dirawat saja, karena kondisinya benar-benar lemah. Afwan tidak sempat menghubungi Abi sama Umi,” Salsa menutup kalimatnya.

Abi dan Umi menghela nafas panjang mendengar penuturan Salsa. Mereka lega tidak terjadi apa-apa pada gadis itu.

“Ya sudah, kamu sekarang masuk, istirahat sana. Besok pagi, ada yang mau kami bicarakan dengan kamu.” Ucap Abi penuh wibawa.

Salsa mengangguk. Setelah mencium tangan Umi, dia masuk ke kamarnya lewat pintu samping. Masjid dan ruang belajar pondok pesantren itu telah sepi dari santri putri yang jumlahnya delapan puluh empat itu. Di kamarnya, Salsa tidak lantas beristirahat. Dinyalakannya laptop dan diambilnya buku-buku tebal dari rak di samping kasurnya. Setelah menunaikan shalat isya’ dan tilawah dua halaman, Salsa mulai tenggelam dalam mengerjakan tugasnya.

---

Pukul delapan pagi, Daarul jannah sudah sepi ditinggalkan para santri yang berangkat ke sekolahnya masing-masing sejak setengah tujuh tadi. Beberapa pengurus pondok terlihat sedang membersihkan masjid dan ruangan belajar. Ada beberapa yang menyapu, yang lainnya mengepel dan membersihkan kaca. Alunan Murattal surat Ar-Rahman menggema ke seluruh pelosok pondok dari sound system yang ada di masjid.

Salsa sedang memanaskan mobilnya di depan gerbang pondok. Hari ini dia akan menjenguk Aisyah yang sudah dirawat dari dua malam lalu. Kemarin saat Salsa menjenguknya, Aisyah sedang tidur. Salsa hanya menyimpan baju ganti untuk Aisyah dan beberapa kantong buah segar. Tak lupa buku dan mushaf yang pasti akan dicari Aisyah untuk mengisi waktu istirahatnya itu. Semoga keadaanmu sudah jauh lebih baik, Syah. Ada yang ingin kubagi denganmu.

Pembicaraan dengan Abi dan Umi pagi kemarin benar-benar mengejutkannya, bagai hujan yang membadai tanpa ditandai mendung sebelumnya. Berbagai aktivitas dilakukannya tanpa konsentrasi penuh sejak pagi kemarin. Dan Salsa ingin segera menceritakan ini pada sahabatnya.

Inspiring Story for Ukhti. Aisyah sedang membaca buku itu saat Salsa masuk ke ruangannya. Sebuah senyum langsung terlukis saat Salsa beruluk salam. Wajah gadis itu sudah jauh lebih segar dibanding kemarin. Salsa cukup yakin untuk membagi buncah-buncah di hatinya pada Aisyah.

“Aku tadinya mau membawakanmu Bulughul Maram, tapi aku takut itu akan terlalu membuatmu kelelahan membacanya. Makanya kubawa saja Syarah Riyadhus Salihin dan buku itu. Banyak membantu?” tanya Salsa.

“Sangat membantu, Ukhty. Dan, terima kasih kau tidak lupa membawakan mushafku.”

“Mana mungkin aku membiarkanmu melewati hari tanpa mushaf itu?” Salsa duduk di samping kasur Aisyah. “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”

“Jauh lebih baik, Sa. Aku harap aku bisa pulang hari ini juga,” Aisyah masih khawatir. Pelayanan di sini sungguh sangat baik. Yang paling Aisyah sukai adalah pasien perempuan dirawat oleh perawat perempuan, dan pasien laki-laki oleh perawat laki-laki. Semua petugas di rumah sakit itu juga ramah tiada tara. Tentu saja pelayanan sebagus itu tidak murah harganya. Aisyah yang sehari-hari hidup dari uang beasiswa yang pas-pasan, mungkin harus menghabiskan uang beasiswanya selama tiga bulan untuk rawat inap selama tiga hari itu.

Salsa memahami apa yang sedang dipikirkan Aisyah. “Aku sudah bilang, kamu ga usah mikirin apa-apa,” tatapan Salsa begitu lembut menyapa pandangan Aisyah. Aisyah mencoba menyelami kedua bening itu, dan dia menemukan ketulusan di sana. Ketulusan seorang saudara yang rela melakukan apapun untuk saudaranya. Perlahan wajah cemas Aisyah berubah menjadi lebih ceria.

“Nah, gitu dong senyum. Ada yang mau kubagi denganmu,” Salsa membenahi duduknya. “Kemarin pagi, Abi dan Umi mengajakku berbicara,” Salsa mengeluarkan sebuah map biru dari tasnya. “Ada yang mengajukan lamaran untukku, Syah. Seorang calon sarjana pertanian.”

Aisyah menerima map yang diajukan Salsa. Dia membukanya dan berseru saking kagetnya. “Dia kan temanku satu SMA, Sa.” Ujar Aisyah.

“Benarkah?” Salsa tak kalah terkejutnya. “Apakah dia seorang calon suami yang baik untukku?”

“Setahuku dia memiliki pribadi seorang muslim,” Aisyah langsung menutup map itu tanpa membacanya lebih jauh. “Tiga tahun berturut-turut sekelas dengannya, membuatku tak meragukan lagi dia adalah calon suami yang sangat baik bagi setiap wanita shalehah. Memang benar apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Setiap orang akan mendapatkan jodoh yang sepadan dengan dirinya.” “Lalu bagaimana jawabanmu?”

“Jika abi dan Umi sudah menyetujui, aku tak berani meragukan kualitas jasadi maupun ruhiyahnya,” jawab Salsa bersemangat. “Tapi satu hal yang paling membuatku tertarik padanya, dia memiliki cita-cita yang sama denganku.” “Eh, dengan kita,” ralatnya cepat.

“Pergi ke Papua?”

Salsa mengangguk mantap. “Dia juga ingin mendirikan pusat pembelajaran Islam bagi muslim disana. Bahkan, sekarang dia sedang melakukan penelitian untuk skripsinya langsung disana, agar nanti aplikasi ilmu pertaniannya lebih langsung terarah sesuai kondisi alam di sana.”

Ada sesak yang tiba-tiba menyeruak di dada Aisyah demi mendengar hal itu.

“Kamu sungguh beruntung, Sa. Semoga nanti pernikahan kalian barakah, Kalian sudah sama-sama siap untuk membangun madrasah peradaban islam di tanah asing sana.” ucap Aisyah sedikit bergetar pada akhirnya.

Justru aku harus lebih bersiap jika ternyata jawaban dari istikharahku nanti menghadapkanku bahwa dia ternyata bukan jodohku, Syah. Kita belum tahu apakah Dia memang menggariskan jodohku dengan laki-laki itu.

Mereka berpelukan. Tetes-tetes bening bergulir jua dari bening kedua gadis itu. Ruangan sepi itu menjadi saksi dua orang yang benar-benar saling mencintai karena Allah. Salsa sudah menganggap Aisyah merupakan bagian dari dirinya, sehingga saat gadis itu terbaring lemah, hatinya lah yang merasakan sakit tak terperi. Dan Aisyah mengharu bahagia melihat Salsa bertemu dengan laki-laki yang akan membimbing dan membersamainya mewujudkan mimpi untuk mengabdikan ilmunya bagi muslim Papua yang tidak bisa menimba ilmu agama sebebas dan sebanyak mereka yang tinggal di Pulau Jawa ini.

---

Rabbi, selalu bergejolak harap di hati ini untuk memiliki pendamping hidup yang mampu membawa hamba lebih dekat kepadaMu. Harap itu sekali terlabuh pada laki-laki yang memikat perasaan hamba dengan kesantunan sikapnya, pemuliaannya terhadap perempuan, dan penghambaannya padaMu yang dipersembahkan sepenuh jiwa raganya. Harap itu pernah bersemi, Rabb. Pernah.

Jika memang dialah yang Engkau pilih untuk mendampingi sisa umur hamba, dekatkanlah kami dan berkahilah kebersamaan itu. Jika bukan dia jodoh yang Engkau berikan untuk hamba, lapangkanlah hati hamba saat nanti melihatnya membangun keluarga sakinah, mawadah, wa rahmah dengan wanita yang lebih baik dari hambamu yang hina ini.

Amin.

---

“Nduk, pesawat yang membawa Ifan tergelincir saat mendarat di bandara. Sekarang keadaannya sedang kritis di rumah sakit. Kamu mau ikut kami ke sana sekarang, nduk?” Ucap Umi sambil menahan isaknya. Salsa hanya bisa terdiam di kursinya. Inikah jawaban dariMu, Rabbi? Bahwa sepanjang istikharahku tak ada sedikitpun perasaanku kau izinkan untuk singgah padanya.

“Umi sama Abi duluan saja ke sana. Insyaallah Salsa akan menjenguk beliau kalau nanti keadaan beliau sudah lebih membaik.” Ya, Salsa sadar belum ada keterikatan apa-apa antara dirinya dengan Arifan Abu Bakar, sang calon sarjana pertanian itu. Maka sekarang, cukup dia mendoakan saja dari sini untuk kebaikan laki-laki itu.

Salsa baru menjenguk Ifan satu minggu kemudian, setelah Abi mengabarkan bahwa keadaannya sudah mulai membaik. Ditemani Abi dan Umi, Salsa menyampaikan jawaban atas lamaran Ifan dulu dengan tegas tapi dapat diterima dengan baik oleh laki-laki itu. Dan, Ifan kemudian menceritakan pengalamannya dulu semasa SMA pada keluarga pengurus pondok daarul Jannah itu. Tentang seorang perempuan shalehah yang menjaga hijabnya dengan sesungguh janji.

---

“Syah, masihkah dirimu bercita-cita untuk menikah di usia 23 tahun?” tanya Salsa saat mereka memasuki Estilo biru sepulang kuliah sore ini.

“Cita-citaku masih sama, Sa. Hanya saja, aku lebih ridho dengan takdirNya jika memang cita-citaku itu tidak sesuai dengan rencanaNya.”

Salsa menatap Aisyah serius. “Sekarang usiamu berapa?”

“23 tahun 11 bulan 28 hari,” jawab Aisyah pelan. “Kenapa?”

“Ada seorang temanku yang sedang mencari istri. Syaratnya hanya dua, dia haruslah wanita yang menjaga izzahnya sebagai seorang muslimah, dan memiliki setidaknya dua kelompok binaan yang kompak padu,” jelas Salsa perlahan. “Maukah kau menjadi ibu bagi anak-anaknya?”

Aisyah tersentak. Dadanya sesak oleh buncah yang tak tergambarkan. Buncah yang hanya mampu ia rasakan, tak bisa ia utarakan.

“Aku harus berbicara dengan ibu dulu, Sa,” jawab Aisyah setelah keterkejutannya menghilang.

“Umi sudah menghubungi ibumu, beliau sekarang sedang ada di pondokku,” jawab Salsa kembali membuat Aisyah terhenyak.

“Jikalau kamu percaya pada Abi, Umi, ibumu, dan juga padaku, sekarang ikutlah denganku ke Daarul Jannah. Lepas maghrib nanti kali-laki itu akan mengucapkan akad untuk menikahimu disaksikan jamaah dan warga di sekitar pondokku.”

“Sudah sejauh itu kalian melakukannya untukku?” Aisyah terbata. Salsa mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya dia memacu mobil menuju Daarul Jannah setelah Aisyah hanya mampu mengangguk tanpa kata atas semua kejutan itu. Bahkan untuk bertanya siapa lelaki itu pun, dia tidak sanggup.

Tepat adzan maghrib berkumandang saat Estilo biru itu memasuki gerbang pondok. Aisyah langsung disambut beberapa santri putri yang membawanya ke rumah utama untuk persiapan akad. Lepas shalat maghrib, Salsa membawa Aisyah ke lantai atas masjid pondok. Di shaf terdepan sudah ada Umi dan Ibunda Aisyah. Gadis itu langsung mendekap ibunya. Mata mereka gerimis, namun itulah gerimis paling membahagiakan yang pernah Aisyah ingat.

Di bawah sana, Abi yang berperan sebagai wali Aisyah sekaligus penghulu akad, menjabat tangan laki-laki muda yang tidak asing bagi semua orang di sana, Arifan Abu Bakar. Aisyah tersentak untuk kesekian kalinya. Jadi, jawaban Salsa satu bulan yang lalu atas lamaran itu adalah menolaknya?

“Sa,” Aisyah tak mampu meneruskan kalimatnya. Teringat doanya sendiri. Jika memang dialah yang Engkau pilih untuk mendampingi sisa umur hamba, dekatkanlah kami dan berkahilah kebersamaan itu.

Salsa menjawab dengan senyuman. “Semoga barakah, Syah. Insyaallah kita akan tetap sama-sama ke Papua untuk mewujudkan mimpi kita.”

“Terlalu banyak yang kau berikan untukku.”

“Sebanyak itu pula yang kuterima dari kalian semua. Aku benar-benar seorang diri jika Abi dan Umi tidak mengangkatku menjadi anak mereka. Sebanyak apapun harta yang ditinggalkan orang tuaku, tidak akan berguna jika aku menjadi orang yang kesepian. Kamu dan Ifan adalah saudara terbaik yang pernah kupunya. Apalagi yang kubutuhkan jika kalian sudah memberikan kebahagiaan terbaik itu untukku? Lagipula seorang muslim Papua yang menjadi pemandu Ifan selama melakukan penelitian disana, sedang dalam perjalanannya kemari untuk mengikatku dengan akad serupa yang diucapkan Ifan atasmu.”

Bening di mata-mata meraka pecah tak terbendung. Mereka berpeluk mesra. Dan, jamaah shalat maghrib telah mengamini akad yang terucap petang itu. Doa-doa mereka menggema ke angkasa raya, terjalin ke lazuardi yang gemerlap di pekat malam itu.

Mimpi yang terikhtiar dalam sadar, adalah kemenangan yang tinggal menunggu waktu pembuktian.

(kupersembahkan untuk dua orang saudaraku yang malam itu mengantarkanku pulang. thanks a lot for you two, ukh. maaf banyak "mencuri" beberapa bagian pengalaman dan karakter kalian. hehehe )