• Apresiasi Seni, Budaya Lokal, dan Nasionalisme
Keberadaan seni di tengah masyarakat tidak dapat dipungkiri lagi fungsinya baik sebagai media hiburan maupun sarana pendidikan. Pada saat-saat tertentu bahkan seni dimanfaatkan sebagai alat untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Dari sini kita bisa melihat bagaimana seni sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan dinamis bangsa kita.
Menurut Soekito, sastra/kebudayaan, manusia, dan politik (pancasila) memiliki sebuah ikatan yang siklus pengaruhnya terus berputar. Ketiga aspek ini setara, dalam artian ketiganya memiliki posisi yang sama: mempengaruhi dan dipengaruhi. Karena itulah setiap kali kita berbicara tentang manusia Indonesia, kita tak akan pernah melewatkan budaya yang mereka miliki, dan akan mengembalikannya pada pancasila sebagai dasar falsafah negara dan bangsa ini.
Pertanyaannya, bagaimana masyarakat mengapresiasi seni dalam berbagai fungsinya tadi?
Pertama, secara umum seni memiliki fungsi utama sebagai media hiburan, baik itu bagi seniman yang menjadikannya sebagai media ekspresi, maupun penikmat seni yang merasakan kesenangan dalam menikmati berbagai karya seni. Contoh dari fungsi ini bisa kita temukan pada seni musik, lukis, juga fotografi.
Kedua, seni menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan ketika seni itu mengandung simbol-simbol yang penjabaran maknanya begitu dalam dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi bangsa Indonesia. Kita bisa lihat belakangan ini marak bermunculan film-film karya anak bangsa yang mencoba mengangkat rasa nasionalisme juga mendidik para penontonnya ke arah yang lebih baik. Contohnya film Denias, Merah Putih, Garuda di dadaku, dan yang paling terbaru adalah Tanah Air Beta.
Ketiga, seni bisa juga menjadi media kritik bagi pemerintah. Hal ini bisa terjadi pada kondisi yang sudah tidak biasa (ekstrim) dimana masyarakat merasa pemerintah kurang memperhatikan apa yang mereka keluhkan. Sehingga melalui seni mereka bisa berbicara banyak, meskipun hal itu disampaikan secara tidak langsung. Misalnya adalah aksi-aksi teatrikal yang dilakukan di depan gedung pemerintah, atau puisi-puisi bahkan lagu yang menunjukkan apa yang dirasakan rakyat dan bagaimana mereka menginginkan pemerintah bertindak atas kekuasaannya.
Berbagai macam kesenian ini bisa dikelompokkan berdasarkan letak geografisnya. Sehingga kemudian kita mengenal kebudayaan lokal. Kebudayaan-kebudayaan lokal ini memiliki nilai usungan utama yang berbeda di setiap daerah. Namun demikian, tetap ada satu hal yang membuatnya sama, yaitu semua kebudayaan itu mengajarka nilai-niai kebaikan (norma) yang berlaku bagi semua bangsa indoneia. Setiap daerah memiliki kearifan lokalnya masing-masing yang jika itu bisa dimanfaatkan dengan optimal, maka pengaruh yang diciptakannya tidak mustahil bisa bersifat global.
Perlahan tapi pasti, kedudukan seni dan budaya lokal mampu meningkatkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Apalagi ketika ada ancaman terhadap seni dan budaya ini dari luar, rasa memiliki dan kecintaan terhadap Indonesia akan semakin tinggi.
• Etika
Berasal dari kata Yunani Kuno Ethikos yang berarti timbul dari kebiasaan, etika adalah salah satu alat kontrol sosial yang langsung menyentuh individu di masyarakat. Daya jangkau etika mencakup segala hal tingkah laku manusia di setiap hari. Dalam keberlanjutannya, etika akan mengkaitkan semua tingkah laku manusia itu dengan sistem moralitas yang berlaku di masyarakat.
Etika membuat pemanfaatan ilmu pengetahuan bisa dipertanggungjawabkan secara layak. Ketika manusia benar-benar memahami etika, kecanggihan teknologi tidak akan pernah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan tertentu. Karena setiap tindakan yang mereka lakukan, akan selalu bertolak dari prinsip moral yang mengatur baik atau tidaknya suatu tindakan di mata masyarakat.
Hal akhir yang menjadi sasaran dari keberadaan etika ini adalah mencegah manusia dari prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan mereka. Sehingga kebebasan yang dimiliki setiap individu dalam berekspresi atau mencapai tujuan, secara alamiah akan terbatasi oleh kebebasan orang lain untuk tidak merasa terganggu dengan apa yang seseorang lakukan demi memenuhi kebutuhannya.
Diantara aspek yang dicakup etika antara lain:
1. Etika kehidupan (bioethics)
2. Martabat dan Hak Asasi Manusia
3. Etika Bernegara
a. Demokrasi
b. Keadilan
c. Keadilan Sosial
d. Pengrusakan Keutuhan Lingkungan Hidup
4. Seksualitas dan Hidup Berkeluarga
5. Sopan santun
6. Etika Profesi
Dalam tataran kehidupan kampus, civitas akademika universitas memiliki peran yang cukup besar dalam pelestarian etika terkait perkembangan IPTEKS dan pengembangan nilai lokal untuk kearifan global. Para civitas akademika ini ditantang untuk mampu memberikan contoh kepada masyarakat luas dalam mengimplementasikan etika ditengah-tengah kecanggihan teknologi dan maraknya pengaruh global terhadap nilai-nilai lokal.
Keterwakilan elemen masyarakat dari seluruh bagian Indonesia di dunia kampus, menjadi modal yang cukup untuk mulai melestarikan budaya Indonesia yang beragam, untuk tetap berada pada koridor etika yang memiliki estetika. Keberagaman ini adalah media pengingat akan hakikat pancasila sebagai penyatu perbedaan-perbedaan yang ada dalam satu naungan yaitu bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai pancasila yang ada di kehidupan sehari-hari, akan mampu menyaring pengaruh globalisasi.
• Kecurangan dan Plagiarisme
Kedua hal ini sangat erat kaitannya dengan bahasan sebelumnya, yaitu etika. Kecurangan dan plagiarisme adalah contoh konkret pelanggaran etika, yang dalam tulisan kali ini akan difokuskan pada lingkup pembuatan tugas civitas akademika.
Kecurangan biasa terjadi saat dilaksanakannya ujian. Ada segelintir oknum mahasiswa yang kadang melanggar tata tertib ujian yang telah ditentukan panitia pelaksana. Hal ini tidak hanya menimbulkan masalah ketidakobjektifan penilaian hasil ujian saja, tetapi kadang ketika proses kecurangan itu terjadi, mahasiswa lain yang berada di dekat si pelaku kecurangan pun akan terganggu. Biasanya bentuk ketergangguan ini adalah secara moral, dimana mahasiswa yang menjadi saksi kecurangan itu tidak bisa menerima tindak kecurangan itu. Namun mahasiswa tersebut kadang sungkan atau malah takut untuk memberitahukan kepada pengawas ujian dikarenakan sang pelaku adalah temannya sendiri.
Dari sini kita bisa melihat bahwa suara hati-lah yang menjadi dasar kejujuran sebuah tindakan. Ketika seorang mahasiswa benar-benar mampu menyadari tujuan sebuah proses pembelajaran, dia tidak akan pernah mau melakukan kecurangan sekecil apapun dalam bentuk apapun.
Selanjutnya, plagiarisme marak terjadi dalam kasus pembuatan paper. Ketika seorang mahasiswa yang menyalin pekerjaan rekannya, itu adalah tindakan plagiarisme yang tidak termaafkan. Selain karena telah mencuri hasil karya orang lain yang kemudian diakui sebagai hasil karyanya sendiri, mahasiswa ini sudah menunjukkan ketidakmampuannya dalam memahami arti sebuah proses belajar dan bekerja.
Contoh lainnya ialah penggunaan kutipan pendapat orang lain tanpa diiringi penjelasan yang jelas siapa yang memiliki kutipan itu. Memparafrase teks orang lain tanpa rujukan yang memadai terhadap sumber juga bisa menjadi contoh plagiarism. Contoh lainnya adalah mengambil materi audio, visual materi tes, atau sofware orang lain dan kode program tanpa menyebut sumber secara benar. Dan juga menggunakan teks yang pernah dipergunakan sebelumnya (misalnya dalam mata kuliah lain), atau menggunakan teks yang mirip dengan teks yang pernah dipergunakan sebelumnya, untuk memenuhi tugas suatu mata kuliah yang berbeda (menjiplak hasil karya sendiri).
Dalam penanganan kedua pelanggaran ini, memang telah dibentuk lembaga khusus baik di tingat fakultas maupun universitas untuk menindak lanjuti pelaku pelanggaran. Tetapi pihak yang paling besar peluangnya untuk mencegah kedua hal ini adalah para civitas akademika itu sendiri. Sehingga lagi-lagi, persoalan etika dan moral yang akan menjadi titik tolaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar