Kamis, 14 April 2011

UNIVERSAL, CULTURAL, AND PERSONAL BEHAVIOR

Universal behavior is the behavior that could be accepted in all over the world. Wherever you are and whenever you do that, people could understand. It is the real common behavior of human being. For example, in the hot weather, you look for the place for resting and drink a bottle of water. Another example, if you lost in strange place you asked people about the right way. I want to say that the universal behavior is also related with the basic doctrine of the religion. In Islam for example, women have to cover all part of their body except face and hand palm. The way of covering and what they use to cover maybe different, but the main purpose is the same.
Cultural behavior is behavior that affected by local value. One behavior maybe unacceptable in certain place because that behavior against the local culture. Each place has different standard of the culture value. In western countries, it is common to kiss your partner in public place, but you can’t do that in Indonesia. In America you can sleep a whole day if you are lazy to do anything, but not in Japan. The Japanese can’t tolerate that kind of behavior.
Personal behavior is individualistic behavior. There will be a great different of each person’s personal behavior because everyone has their own expression in it. For example, I used to eat snack in my bed while reading a book and listening to music before sleep. After that I don’t brush my teeth. For some people they can’t accept what I do, but they can’t bother me because I do that in my private zone. Another example is the way of study. One could study even in the noise situation while other only could study in silent one. It is really personal and we can’t blame them for it.

The Colored One (An African American)

We could express our feeling or whatever in our mind through writing. In Zora Neale Hurston’s How it Feels to be Colored Me, I can know what her feeling was to be a colored one. Up to her thirteen ages, she only knew the difference between the colored and white people from their riding. The colored rode dusty horse while the white rode auto mobile. As time goes by, she finally knew that the difference not as simple as she thought. In other writing, Claude McKay’s If We Must Die, I can see how the colored one was treated in not honorable way. It tells how they really wanted to fight against the bad treatment and die in honorable way.
Comparing these two writings, I can see the different responses to be the colored. Hurston is seems to be a tolerate one in facing her position. She knew where and how her position was, but she didn’t have the sense of angry to the white. Even some times she was confused to her own self. On the other hand, McKay clearly declared his thought in suing non colored people to respect the colored one. He dared to stand against them.
In Hurston’s writing, she said “I remember the very day that I became colored”. It seems to me that that day left the great impression for her. Before that day coming, she didn’t feel any matter because of her color because she lived in a town lived by the same people. But when that day came, the day when she entered the “new world”, she began to feel the difference between her and the non colored one. It leads her to a deeper thought about this color.
Compared to the previous time, to be an African American in US today is in better condition. According to McKay’s last phrase, “but fighting back”, I think the colored has done it. Today we can see many African American have great position in several field. For the examples are Will Smith in movie industry, Rihanna in music industry, O’neal in NBA, and the greatest achievement ever is Barrack Obama as the President of United States. There are still many others who succeed in their own ways.
Even though there is still a sentiment to African American in certain area in United States, in fact they have already proved that the colored are still American too. I think today the African American are proud to their own color. They show that they are not less worthy than non-colored people with the great talents they have. Even though they are slaver descent, in Huston’s words, today they stand their own position with their own wealth. The non-colored people cannot treat them badly as they wish anymore. As McKay said, they are fighting back.

Tentang Nasionalisme

• Apresiasi Seni, Budaya Lokal, dan Nasionalisme
Keberadaan seni di tengah masyarakat tidak dapat dipungkiri lagi fungsinya baik sebagai media hiburan maupun sarana pendidikan. Pada saat-saat tertentu bahkan seni dimanfaatkan sebagai alat untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Dari sini kita bisa melihat bagaimana seni sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan dinamis bangsa kita.
Menurut Soekito, sastra/kebudayaan, manusia, dan politik (pancasila) memiliki sebuah ikatan yang siklus pengaruhnya terus berputar. Ketiga aspek ini setara, dalam artian ketiganya memiliki posisi yang sama: mempengaruhi dan dipengaruhi. Karena itulah setiap kali kita berbicara tentang manusia Indonesia, kita tak akan pernah melewatkan budaya yang mereka miliki, dan akan mengembalikannya pada pancasila sebagai dasar falsafah negara dan bangsa ini.
Pertanyaannya, bagaimana masyarakat mengapresiasi seni dalam berbagai fungsinya tadi?
Pertama, secara umum seni memiliki fungsi utama sebagai media hiburan, baik itu bagi seniman yang menjadikannya sebagai media ekspresi, maupun penikmat seni yang merasakan kesenangan dalam menikmati berbagai karya seni. Contoh dari fungsi ini bisa kita temukan pada seni musik, lukis, juga fotografi.
Kedua, seni menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan ketika seni itu mengandung simbol-simbol yang penjabaran maknanya begitu dalam dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi bangsa Indonesia. Kita bisa lihat belakangan ini marak bermunculan film-film karya anak bangsa yang mencoba mengangkat rasa nasionalisme juga mendidik para penontonnya ke arah yang lebih baik. Contohnya film Denias, Merah Putih, Garuda di dadaku, dan yang paling terbaru adalah Tanah Air Beta.
Ketiga, seni bisa juga menjadi media kritik bagi pemerintah. Hal ini bisa terjadi pada kondisi yang sudah tidak biasa (ekstrim) dimana masyarakat merasa pemerintah kurang memperhatikan apa yang mereka keluhkan. Sehingga melalui seni mereka bisa berbicara banyak, meskipun hal itu disampaikan secara tidak langsung. Misalnya adalah aksi-aksi teatrikal yang dilakukan di depan gedung pemerintah, atau puisi-puisi bahkan lagu yang menunjukkan apa yang dirasakan rakyat dan bagaimana mereka menginginkan pemerintah bertindak atas kekuasaannya.
Berbagai macam kesenian ini bisa dikelompokkan berdasarkan letak geografisnya. Sehingga kemudian kita mengenal kebudayaan lokal. Kebudayaan-kebudayaan lokal ini memiliki nilai usungan utama yang berbeda di setiap daerah. Namun demikian, tetap ada satu hal yang membuatnya sama, yaitu semua kebudayaan itu mengajarka nilai-niai kebaikan (norma) yang berlaku bagi semua bangsa indoneia. Setiap daerah memiliki kearifan lokalnya masing-masing yang jika itu bisa dimanfaatkan dengan optimal, maka pengaruh yang diciptakannya tidak mustahil bisa bersifat global.
Perlahan tapi pasti, kedudukan seni dan budaya lokal mampu meningkatkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Apalagi ketika ada ancaman terhadap seni dan budaya ini dari luar, rasa memiliki dan kecintaan terhadap Indonesia akan semakin tinggi.

• Etika
Berasal dari kata Yunani Kuno Ethikos yang berarti timbul dari kebiasaan, etika adalah salah satu alat kontrol sosial yang langsung menyentuh individu di masyarakat. Daya jangkau etika mencakup segala hal tingkah laku manusia di setiap hari. Dalam keberlanjutannya, etika akan mengkaitkan semua tingkah laku manusia itu dengan sistem moralitas yang berlaku di masyarakat.
Etika membuat pemanfaatan ilmu pengetahuan bisa dipertanggungjawabkan secara layak. Ketika manusia benar-benar memahami etika, kecanggihan teknologi tidak akan pernah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan tertentu. Karena setiap tindakan yang mereka lakukan, akan selalu bertolak dari prinsip moral yang mengatur baik atau tidaknya suatu tindakan di mata masyarakat.
Hal akhir yang menjadi sasaran dari keberadaan etika ini adalah mencegah manusia dari prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan mereka. Sehingga kebebasan yang dimiliki setiap individu dalam berekspresi atau mencapai tujuan, secara alamiah akan terbatasi oleh kebebasan orang lain untuk tidak merasa terganggu dengan apa yang seseorang lakukan demi memenuhi kebutuhannya.
Diantara aspek yang dicakup etika antara lain:
1. Etika kehidupan (bioethics)
2. Martabat dan Hak Asasi Manusia
3. Etika Bernegara
a. Demokrasi
b. Keadilan
c. Keadilan Sosial
d. Pengrusakan Keutuhan Lingkungan Hidup
4. Seksualitas dan Hidup Berkeluarga
5. Sopan santun
6. Etika Profesi

Dalam tataran kehidupan kampus, civitas akademika universitas memiliki peran yang cukup besar dalam pelestarian etika terkait perkembangan IPTEKS dan pengembangan nilai lokal untuk kearifan global. Para civitas akademika ini ditantang untuk mampu memberikan contoh kepada masyarakat luas dalam mengimplementasikan etika ditengah-tengah kecanggihan teknologi dan maraknya pengaruh global terhadap nilai-nilai lokal.
Keterwakilan elemen masyarakat dari seluruh bagian Indonesia di dunia kampus, menjadi modal yang cukup untuk mulai melestarikan budaya Indonesia yang beragam, untuk tetap berada pada koridor etika yang memiliki estetika. Keberagaman ini adalah media pengingat akan hakikat pancasila sebagai penyatu perbedaan-perbedaan yang ada dalam satu naungan yaitu bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai pancasila yang ada di kehidupan sehari-hari, akan mampu menyaring pengaruh globalisasi.

• Kecurangan dan Plagiarisme
Kedua hal ini sangat erat kaitannya dengan bahasan sebelumnya, yaitu etika. Kecurangan dan plagiarisme adalah contoh konkret pelanggaran etika, yang dalam tulisan kali ini akan difokuskan pada lingkup pembuatan tugas civitas akademika.
Kecurangan biasa terjadi saat dilaksanakannya ujian. Ada segelintir oknum mahasiswa yang kadang melanggar tata tertib ujian yang telah ditentukan panitia pelaksana. Hal ini tidak hanya menimbulkan masalah ketidakobjektifan penilaian hasil ujian saja, tetapi kadang ketika proses kecurangan itu terjadi, mahasiswa lain yang berada di dekat si pelaku kecurangan pun akan terganggu. Biasanya bentuk ketergangguan ini adalah secara moral, dimana mahasiswa yang menjadi saksi kecurangan itu tidak bisa menerima tindak kecurangan itu. Namun mahasiswa tersebut kadang sungkan atau malah takut untuk memberitahukan kepada pengawas ujian dikarenakan sang pelaku adalah temannya sendiri.
Dari sini kita bisa melihat bahwa suara hati-lah yang menjadi dasar kejujuran sebuah tindakan. Ketika seorang mahasiswa benar-benar mampu menyadari tujuan sebuah proses pembelajaran, dia tidak akan pernah mau melakukan kecurangan sekecil apapun dalam bentuk apapun.
Selanjutnya, plagiarisme marak terjadi dalam kasus pembuatan paper. Ketika seorang mahasiswa yang menyalin pekerjaan rekannya, itu adalah tindakan plagiarisme yang tidak termaafkan. Selain karena telah mencuri hasil karya orang lain yang kemudian diakui sebagai hasil karyanya sendiri, mahasiswa ini sudah menunjukkan ketidakmampuannya dalam memahami arti sebuah proses belajar dan bekerja.
Contoh lainnya ialah penggunaan kutipan pendapat orang lain tanpa diiringi penjelasan yang jelas siapa yang memiliki kutipan itu. Memparafrase teks orang lain tanpa rujukan yang memadai terhadap sumber juga bisa menjadi contoh plagiarism. Contoh lainnya adalah mengambil materi audio, visual materi tes, atau sofware orang lain dan kode program tanpa menyebut sumber secara benar. Dan juga menggunakan teks yang pernah dipergunakan sebelumnya (misalnya dalam mata kuliah lain), atau menggunakan teks yang mirip dengan teks yang pernah dipergunakan sebelumnya, untuk memenuhi tugas suatu mata kuliah yang berbeda (menjiplak hasil karya sendiri).
Dalam penanganan kedua pelanggaran ini, memang telah dibentuk lembaga khusus baik di tingat fakultas maupun universitas untuk menindak lanjuti pelaku pelanggaran. Tetapi pihak yang paling besar peluangnya untuk mencegah kedua hal ini adalah para civitas akademika itu sendiri. Sehingga lagi-lagi, persoalan etika dan moral yang akan menjadi titik tolaknya.

The recreated story of Cave Kuta Maneh (additional character: Nudiwa Dioza, a heart specialist doctor).

Long time ago in Parahyangan (Sunda) land, there was a great Buddhist kingdom, Padjajaran Kingdom. Its well known king is Prabu Siliwangi whose name now is used as the name of armed service of West Java’s battalion. Prabu Siliwangi had many children, on of them was his son Kian Santang.
Once when Islam teaching reached Java Island, Kian Santang followed this faith. He really believed in this religion and asked his family to also believe in it. Some of them followed and some others refused, they still want to stay in their previous faith, Buddhism. Prabu Siliwangi was in those who refuse to enter Islam faith.
However Kian Santang did not give up in persuade his own father. Because of this insist, Prabu Siliwangi left the Kingdom at last. He ran away from Tasikmalaya where the kingdom was to several places in Java Island. Kian Santang kept chase after him. Finally Prabu Siliwangi arrived in one place named Cikujang village in Sukabumi.
Prabu Siliwangi thought there was no other way to avoid Kian Santang except to disappear from the surface of earth. So he entered into the earth at that village so Kian Santang could not find him. Kian Santang only found some tigers which hanged aroud the place where Prabu Siliwangi disappeared.
Then Kian Santang tried to look around that place. Instead of found his father, he met a beautiful lady age of 22 was playing counter strike in her laptop, there, below the palm tree. The lady was so beautiful. Kian Santang fell in love with her at once. Without his guard, Kian Santang walked to that lady and greeted her.
“Excuse me, miss…?” he asked.
“Nudiwa Dioza, call me Dio, please. And you?” the lady asked back.
“I’m Kian Santang from Tasikmalaya. I’ve got lost in this jungle when I tried to look for my father. Did you see an old man hanged around here?”
“Oh, I’m afraid I didn’t see anybody pass here for a week. But let me give a try to help you.” Dio whistled a kind of song which in Kian Santang’s ear it was heard as Brittney Spears’s Toxic melody. In a few moments, two tiger came there. Kian Santang was sure that two tigers were the tigers he saw before in the other side of jungle. He was a little bit afraid.
“Never mind,” Dio calmed him. “They are my pets.” Dio whispered something into the tiger’s ear and those tigers answered in the language Kian Santang didn’t understand.
“Sorry, they said that your father was taken by a beautiful angel into the center of earth. They said that he was so happy. I assume it’s useless for you to continue your journey.”
Kian Santang looked so disappointed. But then he found another thing to do. “I was here far away from my kingdom in Tasikmalaya. Since my father was gone, it is me who become the king now. And I still have no wife to accompany me in ruling the kingdom. Mmm…” Kian Santang a little bit nervous. “Will you marry me, young lady?”
Dio looked at Kian Santang gorgeous face. She also fell in love since the first time Kian Santang greet her. But…
“I’m so sorry. I can’t leave this place because I have my clinic here. There is no other doctor here. If I go with you, there will be no one who will look after people’s health here.”
Kian Santang thought deeply. He didn’t want to lose Dio but in the same time he couldn’t leave the kingdom without any leader. Then he shouted out: “If I can bring my kingdom here, will you marry me?”
Dio looked very doubt, but then she said, “If you can do it, yes I will.”
Kian Santang jumped into the sky because of his happiness. Then after came back step in the earth, he called one of his guard. “Call Einstein, Newton, Peter Pan, Superman, Batman, Iron Man, Avatar, Fantastic Four, Harry Potter and other wizards, to come here at once. Tell them to move Padjajaran Kingdom from Tasikmalaya here. Bring everything, the palace, people, market, also our new dam and tower. Go now!”
Dio looked at Kian Santang adorably. She threw away her laptop and ran into Kian Santang’s arm.
They finally got married and live happily ever after.

ORAL TRADITION OF SUNDANESE SOCIETY

Oral tradition is the manner in which information is passed from one generation to the next in the absence of writing or a recording medium (http://ancienthistory.about.com/od/homer/f/OralTradition.htm). This tradition mostly used in the rural community where the writing culture does not take place the major. It is possibly caused by the grade of their education that still low. It is also possibly because the people still hold on their ancestor tradition where the unwritten law has the different power that stronger than the written one.
In Sukabumi, exactly in my village Kararangge, one example of this tradition is “Pupujian”. It is a kind of song that be sung before we read the holy Qur’an together in the mosque or when we are waiting for the pray time. Usually people sing this in the evening around 5pm till the maghrib pray time comes. The lyric can’t be found in the written form. The old men tell it to children in the mosque. The message of this tradition is we have to remind one each other about the main pray for the muslim. That lyric is:
Eling-eling umat, muslimin muslimat, hayu urang berjamaah solat (magrib). Estu kawajiban urang keur di dunya, pibeukeuleun urang jaga di akherat Hirup di dunya teh kudu aribadah, sujud ka Allah, anu maha kawasa. sapoe sapeting anu lima waktu, duhur asar magrib isa sareng subuh. (Remember people, the muslim from men and women, let’s pray (maghrib) together. That is our duty in this world, for our stuff in the next world. We life in this world, we have to pray, prostrate To Allah, the most powerful. A whole day five times, dzuhur ashar maghrib isya and shubuh)
Another example is the story of my family ancestor and their ritual. In family gathering or in the rest time after praying isya, my parents told me about my grand parents, the parents of my grand parents, and so on. They told about some ritual my ancestor did and ask me to do the same ritual. They told me about the steps and its meaning. This kind of story can be found in the sundanese family which has the good religion teaching. As in my family, my ancestor is the religion leader in my village.

NIKAH DAN CERAI DALAM ISLAM

Pernikahan adalah sesuatu yang mengikatkan dua pribadi yang berbeda dalam naungan kasih sayang. Tapi sekarang ini kita menyaksikan sebuah fenomena yang rupanya sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat kita yaitu nikah cerai. Bagaimana kedudukan fenomena ini dalam kaca mata Islam?
Sebelumnya saya akan memaparkan secara singkat sejarah pernikahan di beberapa peradaban sebelum turunnya ajaran Islam.
• Peradaban Romawi
Pernikahan adalah sebuah kontrak sipil yang dengannya perempuan terbebas dari kuasa ayah dan suaminya. Perceraian adalah suatu hal yang mudah dan lazim pada masa itu. Perempuan Romawi bebas memiliki beberapa orang suami. Bahkan, mereka menghitung umur mereka dari berapa banyak suami yang telah mereka nikahi. Sementara itu, kaum lelaki boleh berhubungan intim sebelum menikah dengan kaum perempuan. Jika perempuan itu hamil, maka laki-laki itu akan menikahinya. Tetapi jika ternyata perempuan itu tidak hamil, maka laki-laki itu tidak akan menikahinya. Pada saat itu perzinahan merajalela dan teater dijadikan tempat untuk kontes wanita telanjang. Pada kondisi inilah kebesaran Romawi mulai memudar dan membawanya pada kehancuran peradaban.
• Peradaban Yunani
Norma pernikahan sama sekali tidak diakui pada zaman itu. Hal ini dikarenakan cerita-cerita rekaan yang sangat menyudutkan posisi kaum wanita. Sehingga pada saat itu wanita dianggap sebagai komoditas yang bisa dikuasai laki-laki. Wanita diperlakukan dengan sangat hina dan hanya dijadikan sebagai pelampiasan nafsu seksual. Bahkan pada saat itu seorang suami boleh menjadikan istrinya sebagai bayaran jika dia kalah berjudi.



• Peradaban Cina
Dalam peradaban ini, seorang suami diperbolehkan menjual istrinya jika ia memerlukan uang. Bahkan, seorang suami diperbolehkan membunuh istrinya tanpa adanya alasan yang jelas.
• Peradaban Arab jahiliyah
Pada waktu itu, kaum laki-laki berlomba satu sama lain untuk memiliki istri sebanyak-banyaknya demi membuka relasi dengan suku yang lain. Ada beberapa jenis pernikahan dalam budaya masyarakat Arab waktu itu yang jelas-jelas mendiskreditkan kedudukan kaum wanita, yaitu :
 Al-dayzan, seorang anak boleh menikahi ibunya setelah si ibu ditinggal mati oleh sang ayah. Cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada ibunya, secara otomatis anak itu sudah mewarisi ibunya sebagai istri.
 Zawj al-balad, yaitu dua orang suami bersepakat untuk saling menukar istri.
 Zawaj al istibda, seorang suami menyuruh istrinya untuk bersetubuh dengan laki-laki lain yang memiliki keunggulan. Setelah hamil, wanita itu harus kembali kepada suaminya. Dengan proses seperti ini diharapkan suami istri itu mendapatkan keturunan dengan “bibit unggul”.
Sekarang kita akan melihat kedudukan pernikahan dan perceraian dalam Islam. Islam adalah agama yang Syaamil Mutakamil (sempurna dan menyeluruh). Semua aturan yang ditetapkan syariat islam sangat sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun dari aturan yang telah ditetapkan itu bertujuan untuk menyusahkan manusia. Perintah-Nya adalah penghubung kita kepada-Nya, larangan-Nya merupakan sebuah bentuk penjagaan, dan ujian yang diberikan adalah perwujudan cinta-Nya kepada kita.
Islam menempatkan ikatan pernikahan sebagai satu anugerah yang sangat besar bagi manusia. Ikatan ini menjadikan sesuatu yang tadinya haram menjadi halal, bahkan membuatnya menjadi ibadah. Islam telah mengatur bagaimana kita harus menjaga sikap terhadap lawan jenis sebelum terjadi pernikahan. Sebagian orang menganggap ini sebagai kungkungan yang sangat membatasi interaksi dan aktualisasi diri. Sebagian yang lain menyadari, aturan ini adalah sebuah penjagaan identitas yang akan menyelamatkan mereka dari berbagai gangguan. Hal ini sangat sesuai dengan fitrah manusia yang menginginkan sesuatu yang terbaik bagi mereka. Sebagai manusia normal, mereka akan cenderung memilih sesuatu yang masih baru dari pada yang sudah bekas. Masa penantian sebelum menikah mengajarkan kita untuk bersabar karena sesuatu itu akan sangat indah dinikmati jika waktunya sudah tiba. Dan masa-masa setelah pernikahan mendidik kita untuk berjuang demi menjadikan ikatan itu sesuatu yang barakah dan menentramkan. Sekali lagi, aturan yang telah ditetapkan Islam adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk menyusahkannya.
Jika sebelum menikah saling berpandangan mesra dan berpegangan tangan itu dilarang keras, maka setelah pernikahan dua hal itu sangat dianjurkan untuk menjaga keharmonisan. Sebelum menikah, hubungan intim itu akan menjadi perzinahan, setelah menikah, ia menjadi ibadah. Dari beberapa hal itu saja kita sudah bisa melihat betapa pernikahan adalah satu ikatan yang menyelamatkan. Tidak hanya menyelamatkan harga diri kita sebagai manusia, tapi juga menyelamatkan garis keturunan atau nasab.
Lebih jauh lagi, pernikahan dalam Islam adalah gerbang menuju sebuah peradaban yang generasinya adalah mereka yang memiliki akhlak yang luhur dan menegakkan syari’at islam. Karena melalui pernikahan yang barakah, terciptalah sistem pendidikan terbaik yang diberikan orang tua kepada anaknya.
Islam menurunkan aturan-aturannya disertai dengan berbagai keringanan yang bisa kita lakukan jika pada kondisi tertentu kita tidak bisa sepenuhnya melaksanakan aturan itu. Berbicara tentang pernikahan, mau tidak mau kita pasti akan menyinggung masalah perceraian. Kata cerai seolah-olah telah menjadi momok yang menakutkan yang kebanyakan orang menganggapnya sebagai hal yang tidak baik. Padahal, tidak setiap ikatan pernikahan yang berakhir dengan perceraian menjadi sesuatu yang buruk. Pada kondisi tertentu, cerai justru menjadi sebuah jalan penyelamatan.
Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (cerai). Ini menunjukkan kepada kita bahwa bercerai bukanlah suatu tindakan yang haram. Memang tujuan kita menikah bukanlah untuk bercerai, tapi ketika kondisi pernikahan sudah tidak bisa memberikan barakah kepada kedua pihak, maka bercerai adalah jalan penyelesaian. Perceraian itu pun terjadi secara baik-baik, tanpa harus menyisakan sisa-sisa kemarahan atas kondisi penyebab perceraian atau persengketaan masalah pembagian harta setelah perceraian.
“Ada tiga hal yang kesungguhannya adalah kesungguhan, dan gurauannya pun dinilai kesungguhan. Ketiganya adalah nikah, cerai, dan ruju’.” (Abu Hanifah). Hal ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan sebuah pernikahan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya dalam kaca mata Islam. Sehingga kita tidak bisa menjalaninya dengan menyepelekan segala proses yang terjadi di dalamnya. Jika seorang suami mengucapkan kata “cerai” terhadap istrinya, maka sebenarnya itu sudah termasuk proses bercerai dalam Islam. Dan untuk bisa kembali berhubungan badan haruslah ada proses ruju’. Dan dalam islam, thalaq atau cerai yang diperbolehkan ruju’ hanya dua kali.
Proses perceraian dalam islam itu diperbolehkan ketika memang pernikahan yang ada sudah tidak lagi barakah, bukan perceraian yang dilandaskan pada nafsu dan ego diri. Contoh perceraian yang tidak pada tempatnya adalah, seorang suami menceraikan istri hanya karena ingin menikah lagi. Atau seorang istri minta cerai kepada suami karena ada gosip suaminya itu berselingkuh tanpa ada pengusutan lebih lanjut.
Mengapa perceraian adalah sesuatu hal yang halal tapi sangat dibenci Allah? Karena ketika terjadi sebuah perceraian, silaturahmi yang terputus tidak hanya antara suami dan istri. Tetapi juga silaturahmi dua pihak keluarga. Dan yang paling mendapat pengaruh adalah kondisi anak-anak dari pasangan itu. Tetapi sekali lagi, perceraian tidak selalu merupakan suatu hal yang buruk.
Ada satu kisah yang sangat melegenda tentang perceraian yang sangat mulia sepanjang sejarah. Ini adalah kisah Abdurrahman bin Abu Bakar dengan istrinya Atikah. Rumah tangga mereka sangat harmonis, tidak ada percekcokan dan perselisihan. Saking harmonisnya rumah tangga ini, membuat sang ayah yang berfirasat tajam gundah gulana. Abu Bakar sangat khawatir kecintaan Abdurrahman terhadap Atikah membuatnya lalai dari ibadah dan jihadnya. “Ceraikan istrimu!”, akhirnya perintah itu terucap dari lisan Abu Bakar. Demi mentaati sang ayah, Abdurrahman pun menceraikan istri tercinta. Kelak, akhirnya mereka rujuk. Abdurrahman meraih syahidnya dalam sebuah perang tak lama setelah kejadian itu.
Begitulah Islam memposisikan sebuah perceraian, sebagai satu keringanan ketika kedua belah pihak sudah tak sanggup lagi menegakkan hukum Allah juga ketika keduanya tidak sanggup lagi menunaikan hak dan kewajiban suami istri.
Dewasa ini, kita sering mendengar berita para selebritas yang bercerai dengan berbagai alasan. Mau tidak mau fenomena tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kita sebagai orang yang belum menikah. Entahkah itu pengaruh positif atau malah pengaruh negatif yang akan ikut mewarnai pribadi kita.
Salah satu pengaruh negatif itu adalah munculnya ketakutan untuk menikah. Kita akan takut jika nantinya pernikahan kita pun akan menjadi seperti itu. Pengaruh negatif lainnya adalah justru memungkinkan kita tidak terlalu serius dalam menjalani ikatan pernikahan. Jika nantinya harus bercerai pun, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa banyak orang lain sebelum kita pun bercerai.
Sedangkan pengaruh positif yang mungkin kita dapatkan adalah kita merasa terpancing untuk mempelajari berbagai penyebab orang bercerai. Proses itu sedikit demi sedikit akan memunculkan keinginan agar nanti ketika menikah sebisa mungkin kita menghindari penyebab-penyebab itu.
Terlepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, fenomena nikah cerai secara pasti akan mengundang komentar masyarakat tentang pribadi kita. Hal ini tidak mungkin kita pungkiri karena itu adalah salah satu konsekuensi hidup bermasyarakat. Kita sebagai orang yang berpendidikan mungkin bisa memaklumi yang menjadi penyebab terjadinya perceraian itu, tapi lain halnya dengan masyarakat luas yang berbeda latar belakang dan tingkat pendidikan.
Kesimpulannya, perceraian adalah satu hal yang halal tapi sebisa mungkin harus kita hindari. Karena pasti itu tidak menjadi tujuan dari pernikahan kita. Yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita sebaik mungkin untuk menjalani kehidupan setelah pernikahan. Kita harus belajar mengendalikan ego dari sekarang. Karena kebanyakan dari kasus perceraian dewasa ini terjadi disebabkan ego yang tidak terkendali. Dan yang terpenting adalah menjadikan kasus-kasus itu sebagai pelajaran dalam mempersiapkan diri untuk menikah. Karena banyak orang yang pada awalnya sangat idealis tentang pernikahan, justru pada akhirnya bercerai disebabkan ketidakmampuan mereka mengendalikan ego masing-masing.
Wallahu A’lam bish shawab.

NON-VERBAL COMMUNICATION

Non-verbal communication is another way to communicate among the member of community. This kind of communication usually used when oral communication can’t work well. One community has different non-verbal communication with other community. My community is the activist of propagation of faith in Faculty of Cultural Sciences, Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB).
Five examples of non-verbal communication here are:
1. Strong hand shaking and hug between two people (man with man or woman with woman) means giving spirit.
2. Nod. Woman nods her head when she meets a man means she greets him.
3. Smile. if one person is riding a bike or motorcycle and she meets another person with big veil, she will smile to her. It means she greets her and that smile replaces “Assalamu’alaikum”.
4. Man doesn’t look woman eyes when they speak means he respects her.
5. If man and woman walk to the same point in the same time, the man will stay for a moment. It means he ask that woman to go first. After she passes that point, the man just goes.
We use non-verbal communication everywhere and every time we meet or interact. When we arrange a meeting, in a discussion, or when we meet in the street. This is one way to limit unnecessary communication between men and women, because in Islam we have to be careful in the interaction to the opposite sex in order not to against the law of syariat.
My friend from Australia said that non-verbal communication in her country is not separated between men and women. They use the same non-verbal communication everywhere including the public space. Their show sour face expression when they get angry. In the professional relation, woman do everything just same like men to show the equality between her ability and man’s ability in the work. Her hand shaking, her way of speaking and walking, are almost the same with men.
According to my friend, she feels difficult enough to keep the communication by oral communication or non-verbal communication in Australia. Although she is a Moslem, her friends especially men, can’t keep the distance between her body and his body when they are speaking. She also difficult enough keep the eye contact between them. In Australia, people usually behave and communicate in casual way and doing something freely like kissing or hugging even in the public places.